Skip to main content

Syarat 'Tersembuyi' untuk Menjadi Seorang Guru Besar?

Gelisah. Saya dengar cerita tentang seorang rekan dosen yang sedang mengajukan kenaikan pangkat untuk menjadi guru besar, harus menerima kenyataan bahwa banyak dari karya penelitiannya ditolak oleh penguji dari Dikti karena sejumlah alasan, terutama karena tidak sesuai dengan bidang keilmuannya.

Saya belum sempat bertanya langsung ke dosen yang bersangkutan. Tapi saya sudah gelisah duluan. Menjadi guru besar adalah obsesi saya sebagai pengajar di universitas. Saya mencoba hati-hati agar apa yang saya persiapkan jauh-jauh hari ini tidak sia-sia. Namun informasi yang saya dapat tentang persyaratan menuju guru besar tidak padat: satu orang bilang begini, satu orang begitu.

Saya pernah berdialog dengan seorang profesor. Beliau menyarankan syarat segitiga yang saling berkaitan: pendidikan S3, penelitian, dan pengajaran, harus sejalan. Ini tentu hal mudah jika kita jaga dengan baik. Tapi apakah semudah ini?

Informasi dari Dikti tidak begitu rinci menjelaskan, kecuali nilai kredit yang harus dimiliki seorang pelamar. Misalnya, minimal 850. Bagi saya, menurut saya, mudah-mudahan bukan jumawa, untuk meraih angka kredit sebesar itu mungkin tidak terlalu sulit. Ada lagi yang bilang, setiap dosen harus punya publikasi di jurnal internasional. Lagi, menurut saya, ini tak terlalu sulit. Selama ada usaha, insyaallah akan ada jalan. Namun, mudah-mudahan ini hanya asumsi saya, ada syarat yang tak tertulis yang justeru menjadi kendala besar. Hal yang tak tertulis ini yang misterius. Artinya ada ketidaktransparanan dalam pengujian proposal guru besar. 


Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.