Skip to main content

Dari Skripsi ke Paper

Sehubungan dengan rencana kepergian saya ke Paris, ada dua paper yang saya racik dari dua skripsi mahasiswa bimbingan saya yang akan saya presentasikan. Saya ingin memulai kebiasaan untuk membimbing mahasiswa dengan serius untuk menghasilkan karya ilmiah yang bermutu, lalu bersama-sama mereka mempublikasikannya, baik lewat conference maupun jurnal. Insyaallah, dua ini boleh saya anggap sebagai permulaan. 

Masih banyak rencana. Semester lalu, cuma ada satu mahasiswa yang saya bimbing, sebagai percobaan sehubungan saya baru pulang dari Australia. Semester berjalan ini, ada sekitar sebelas mahasiswa yang saya bimbing. Kecepatan mereka menulis tidak sama satu sama lain, terutama mereka yang sudah bekerja. Namun setidaknya ada lima mahasiswa yang sepertinya positif bisa selesai akhir semester ini. Dan itu akan sangat menantang saya untuk mengubah skripsi mereka menjadi paper-paper yang layak terbit. Tak harus memikirkan terbit di jurnal kaliber hebat, yang penting bisa terbit. Setidaknya, karya mereka tidak sekedar masuk perpustakaan dan terlupakan. 

Selanjutnya, dari daftar sementara yang saya terima, setidaknya ada 30 mahasiswa angkatan berikutnya yang akan memulai penulisan skripsi awal semester depan. Tiga puluh! Angka yang luar biasa tentunya. Perlu banya meluangkan waktu, energi, pikiran, dan ide gila. 

Ah, semoga saya akan tetap waras. 

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.