Skip to main content

Buku Internasional Saya Terbit!

Yeay, akhirnya, setelah beberapa bulan berjuang, buku internasional saya jadi terbit. Saya tak sengaja menulis buku, tapi ini naskah dari disertasi saya yang disulap jadi buku. Sang penerbit, dari rekomendasi seorang teman, menghubungi saya bahkan ketika saya disertasi saya belum selesai.

Seharusnya satu tahun lalu, tapi hanya karena urusan margin, projek ini sempat tertunda dan saya sempat frustasi. Semua urusan penerbitan buku ini dilakukan secara online, secara saya di sini, doi di sana. Saya diminta untuk melakukan sejumlah pekerjaan yang berhubungan dengan editing naskah buku. Beres. Tapi tidak menurut mereka. Ada persoalan margin tiap halaman yang menurut mereka tak sesuai. Sudah saya ganti, tetap saja dianggap salah hingga belasan kali. 

Padahal, sebagai orang awam, mengatur margin dengan Microsoft Words kan cuma mengatur aturan margin saja. Hingga akhirnya saya 'mogok' berkomunikasi dengan penerbit asal Jerman ini. Mereka keukeuh saya mengatur margin halaman yang menurut saya sudah saya lakukan. Membosankan. Mereka tidak menyediakan bantuan. Ketika saya minta, mereka bisa menyediakan tapi dengan sejumlah biaya. Ogah.

Tiba-tiba di awal Agustus ini, mereka melunak. Pihak penerbit bersedia mengatur margin. Dan dalam beberapa jam saja buku saya siap terbit. Segitu cepat, kan, sebenanrnya. Nah, tinggal menunggu beberapa hari ini saja hingga buku saya resmi ada di pasaran. Senangnya. 

Secara komersil, buku ini mungkin tak akan mendatangkan keuntungan. Tapi karena saya seorang peneliti dan dosen, porfolio karya tulis sangatlah penting. Setahap demi setahap menuju menjadi seorang profesor. Amiiin.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.