Skip to main content

Orang Utan

Malam ini, saya mimpi jalan-jalan, mengendarai mobil, dengan setting berbeda-beda, dengan penumpang yang berbeda-beda. 

Satu penggalan mimpi. Ada salah seorng anak saya duduk di belakang dan seorang pria bule di sebelah saya. Jalanan beraspal bagus dengan pemandangan luas menghijau. Mendekati Port Moresby. Saya menepi ketika tiba di sebuah semak. Ada seekor bayi orang utan berbaring lemah. Dalam mimpi saya, dua minggu sebelumnya datang ke tempat itu untuk menaruh hewan itu di sana. Sekarang, seolah saya ingin menjemput pulang kembali. Hewan itu tak terurus. Lalu saya gendong. Kami kembali melanjutkan perjalanan. 

Pada sebuah desa, kami memasuki rumah sederhana dengan sumber air panas. Orang tua pemilik rumah, sebetulnya adalah penyewa. Ia mempersilakan saya menggunakan bak air panas untuk membersihkan si bayi orang utan. Dalam hati, kelak jika sudah kembali tiba di Jakarta, saya akan rawat dan ajak jalan-jalan kemana pun saya pergi.

Pada penggalan mimpi yang lain. Saya dan seorang rekan dosen, berkendara mendatangi sebuah komplek perumahan, perumahan dosen. Komplek itu berada di pinggir pantai rupanya. Indah sekali. 

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.