Skip to main content

Menjajal Totok Perut

Dua hari lalu saya berulang tahun. Dan saya ingin menghadiahi diri sendiri dengan: totok perut! Haha. 

Sudah beberapa minggu ini saya memang tergoda untuk mencoba totok urat. Ini bentuk dari frustasi saya dengan berat badan dan lingkar perut yang makin tak terkendali.  Lalu, hari ini sepulang ngajar, saya putuskan untuk mengunjungi tempat totok urat ini.

Jika melihat harganya, luar biasa mahal. Bayangkan, 770 ribu untuk waktu pelayanan kurang dari 1 jam. Saya rasa mungkin hanya orang-orang tersesat yang banyak uang saja yang mau melakukannya. Dan saya salah satunya, meskipun tak punya banyak uang.

Lalu, ketika badan ditimbang dan lingkar perut diukur, saya menghela nafas panjang. Maka harapan saya tinggi selangit, akan terjadi keajaiban. Berat akan turun, dan lingkar perut pun menyusut. Tentu saja, karena si bengkel totok perut ini menjanjikan demikian.

Berbeda dengan pijat yang seringkali bikin badan relaks, totok perut sebaliknya. Badan remuk karena 'diganyang' supaya lemak hancur. Mulai dari kaki, perut, tangan, punggung... Hasilnya, setelah banyak meringis karena kesakitan, berat badan saya turun, setengah kilo! Lingkar perut susut, 3 centi! Senang? Hmmm. Pengennya turun 5 kilo, susut 10 centi! Hahah. Dasar pemalas. 

Anyway, happy birthday to me.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.