Skip to main content

B Saja, Tapi Bikin Iri

Saya merasa tidak terlalu hebat. Biasa saja. B. Saya justeru melihat banyak sahabat-sahabat saya yang jauh lebih hebat dari saya. Dan saya sangat bangga dengan keberhasilan mereka. Envy, in a positive way. Lalu jika ada orang-orang yang iri dengan saya yang B ini, kok bisa?

Mungkin hanya penghakiman saya sendiri orang-orang bahwa mereka iri sama saya. Iri dengan yang saya miliki, meskipun, ah, bukan sesuatu yang istimewa. Tapi bagi orang-orang tertentu, apa yang saya miliki itu mungkin sesuatu yang tidak dapat (belum) mereka miliki. Lalu muncullah rasa cemburu itu.

Beberapa tahun lalu saat saya bekerja di sebuah perusahaan, saya sibuk bekerja karena target-target pekerjaan yang membuat saya harus bertanggung jawab dengan amanah yang saya terima. Lalu satu dua orang dengan berbagai cara ingin 'mencelakakan' saya. Hingga pimpinan terpengaruh. Saya bukan tipe pembalas dendam. Saya berpikir lebih baik keluar dari pekerjaan itu dari pada harus terus dikelilingi orang-orang berhati dengki.

Lalu. Ketika saya pikir menjadi seorang pegawai negeri suasana akan berubah, ternyata saya keliru. Saya pribadi merasa iklim pekerjaan sebagai dosen sangat lempeng, minim riak. Saya merasa tenang awalnya, karena fokus saya hanya mengajar, meneliti, dan membantu institusi menjalankan organisasi.

Namun peristiwa demi peristiwa di jaman dahulu terulang kembali, dengan modus berbeda. Saya tandai, sepulang dari Australia dua tahun lalu, satu per satu orang-orang yang saya duga mulai mengusik saya. 

Pertama, saya tak kenal dekat orang ini, dari hari ke hari, menunjukkan ketidaksenangannya dengan saya. Padahal demi alasan apa pun saya sama sekali saya tak pernah bersinggungan dengan dia. Perlu beberapa bulan untuk membuat saya imun dengan serangan-serangan dia.

Kedua, orang yang dekat dengan saya. Dia minta tolong, lalu saya tolong, eh, malah dia memfitnah saya telah mengkhianati dia. Ngok! Peristiwa yang tak akan pernah saya lupakan, meskipun dari lubuk hati sudah saya lupakan, namun trauma saya untuk bekerjasama dengan dia lagi, dalam bentuk apa pun.

Ketiga, tiba-tiba terjadi belakangan ini. Orang lama, pernah bersinggungan dengan saya ketika terlibat dalam sebuah kegiatan. Lama sekali. Ada sebuah peristiwa yang membuat saya tersinggung karena perbuatan dan perkataan dia, lalu saya tegur dia. Ternyata, seperti yang dia ungkapkan ke banyak orang, dia dendam dengan saya. Dia rawat dendam itu setiap hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, bertahun-tahun. Meledak belakangan ini, dan yang jadi korban adalah orang-orang lain yang tidak ada hubungannya dengan dendam dia. Heh. Dari banyak sumber saya mendengar jika dia banyak menggunjingkan saya, dari waktu ke waktu, dari satu hal ke hal lain. Sepertinya, dia terus memantau apa yang saya kerjakan, sehingga dia punya sumber kebencian baru untuk diterbitkan. Innalillahi. Hati orang. Penuh rahasia. 

Sekali lagi, saya tidak akan secara sadar mengganggu dan mencelakan orang lain. Saya tak akan pernah memulai pertengkaran. Saya tak akan pernah mengusili orang. Saya tak akan pernah dendam dengan seseorang. Insyaallah hati saya ikhlas meskipun didjolimi, meskipun perlu waktu untuk ini. Insyaallah, saya mewakafkan diri untuk dijahati, asal saya tak membalas balik. 

Sekali lagi, saya bukan orang yang terlalu hebat. Biasa saja. B. Tak ada gunanya iri dan dengki sama saya karena saya tak akan membalas iri dengki mereka. Saya hanya ingin hidup tenang. Mereka berhasil, saya akan ikut senang. Mereka gagal, insyaallah saya bantu. Mereka jahat, bukan urusan saya. 

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.