Skip to main content

Pemilu Berlalu Sekian Waktu Lalu, Ada yang Masih Belum Move On

Saya mendengar sebuah cerita nyata. Seorang perempuan, mengunjungi kantor adik iparnya, dengan suaminya, anak-anaknya, dan adiknya. Ia terkagum-kagum dengan suasana kantor adik ipanya itu. Tak ia sangka, adik iparnya yang bekerja di sebuah kantor pemerintah itu terlihat rapi dan bagus. Ia cerita sendiri ke adiknya.

Keesokan harinya, perempuan ini mendatangi adiknya. Ia bilang, kalo kantor adik ipanya bagus, karena si adik ipar dan seluruh orang sekantor memilih Jokowi. Kesimpulan dia, kantor adik iparnya mendapat bantuan dana yang besar dari Jokowi. Ehm.Tak cukup sekali, si perempuan itu mendatangi kediaman adiknya berkali-kali pada hari-hari berikutnya untuk membicarakan hal yang sama. Si adik dari perempuan itu marah. Ngok.

Lebaran lalu, si perempuan ini mengunjungi rumah tantenya. Pada suatu kesempatan ia membahas bagaimana Jokowi begini-begini. Dia bilang, jika umat Islam seluruh Indonesia bersatu, Jokowi tak akan terpilih. Dan lain-lain, dan lain-lain. Di ujung percakapan, kedua perempuan itu berantem hebat saling berargumen. 

Ada, orang-orang tertentu, seperti perempuan yang saya ceritakan di atas, kerasukan sesuatu. Loyalitas buta. Yakin untuk hal yang tidak jelas. Saya memilih Jokowi. Alhamdulillah dia menang. Sebelumnya, dua kali berturut-turut saya memilih SBY. Tapi tak membuat saya menuhankan mereka. Biasa saja. Mereka berbuat baik, saya senang. Bukan senang yang membabi buta. Saat kedua presiden ini membuat keputusan yang saya pikir tidak baik, saya juga jengkel. Tapi bukan jengkel yang membabi buta juta. Biasa saja.

Lucu, jika pemilu sudah berlalu lama, ada saja orang yang masih sakit hati dan tak rela move on karena tak bisa menerima kekalahan jagoannya. Helloo......?!

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.