Skip to main content

Saatnya Mudik







Lebaran tahun ini saya rayakan di Cirebon, di rumah keluarga isteri saya. Berkaca pada pengalaman tahun lalu yang gagal pergi karena terjebak macet berjam-jam di Cikampek sehingga putar balik, saya sudah bulat tekad untuk berangkat lebih pagi kali ini. Jadi, jam 4.00, saya sudah keluar garasi. 

Jalanan masih lengang. Jalan tol pun demikian. Banyak kendaraan yang mengarah ke timur, sepertinya memang untuk mudik, dilihat dari bawaan mereka yang menumpuk barang di bagian belakang kendaraan maupun justeru di bagian atap.

Masih di ruas tol Cikarang, kendaraan sudah mulai padat. Sangat lambat bergerak. Anak-anak sudah mulai bangun. Mulai gelisah. Saya berdoa semoga mereka tak rewel. Setelah kemacetan mereda, saya sangat bersemangat karena ingin menjajal jalan tol baru yang berujung tepat di Cirebon. Tinggal sedikit lagi ke kampung tujuan. Mungkin karena masih pagi, jalan tol pun belum terlalu padat. Sepanjang kiri kanan jalan, saya menyaksikan sawah dan kebun-kebun terbentang lapang. Sangat kontras dengan Jakarta yang sesak sempit. 

Meskipun jalan tol baru ini berakhir di Cirebon, saya memutuskan untuk keluar dari jalan tol ini sebelum pintu terakhir, menghindari macet pada yang mungkin terjadi, meskipun akhirnya kena macet juga. Namun demikian, saya sangat bersyukur karena jam 12.15 sudah tiba di kota Cirebon. Lega.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.