Skip to main content

BUJANG IN TOWN 2



Kembali ke kantor. Tumpukan kertas penuh angka-angka menyita persegi empat meja. Sisa luas yang tersedia di tutupi oleh notebook yang aku biarkan tertutup. Gelas minum. Alat tulis. Kalender duduk. Agenda. Tumpukan surat dan dokumen. Belum lagi, jadual meeting yang tertulis di post it warna-warni, date line, laporan-laporan, surat ini itu, hhhhhhh… Kata-kata benda yang tanpa aku tahu, kapan saja bisa jadi monster dan menelanku bulat-bulat hingga aku tak sempat lagi berteriak minta tolong.

Ditambah, sejumlah rekan di kiri kanan. Sempat bertanya juga, apakah mereka rekan-rekan kerja yang sebenarnya ingin aku jadikan teman? Yeah, beberapa mungkin. Beberapa lagi, malas juga kalau harus memasukkan nama-nama mereka ke dalam daftar teman. Bahkan untuk sekedar merekam nomor ponsel mereka. Mereka ada di sekitarku bukan karena aku yang memilih. aku bisa saja punya andil menentukan sejumlah orang yang akan menjadi stafku. Aku berada di antara mereka karena pekerjaan yang mengharuskan. Setuju atau tidak setuju, suka atau tidak suka. Andai saja aku bisa sekaligus menentukan siapa saja yang pantas menjadi rekan kerjaku, mungkin aku tak akan pernah menjadikan si Mona yang super jutek bukan kepalang itu jadi sekretaris si boss. Banyak urusanku jadi tak mulus gara-gara dia. Aku juga tak akan mengangkat si Ully The Bully jadi operator telpon yang berkali-kali tak menyampaikan pesan untukku. Mereka ada di sekelilingku karena sistem.

Saat ini, aku sedang tidak merasa nyaman dengan pekerjaan, kantor, dan segenap isinya. Aku ingin berbagi kegelisahan dengan kau.

Sekarang kau menjalani suatu kehidupan. Bagaimana jika hal yang terjadi saat ini bukanlah hal yang terlalu memuaskan, bukan hal yang terlalu menggembirakan? Sesuatu yang terus kau cari. Sesuatu yang kau harapkan mestinya sudah ada di dalam genggaman untuk melengkapi kebahagiaan. Yes, kebahagiaan. Bukankah dalam hidup ini kita selalu ingin mendapatkan kebahagiaan?
Andai dahulu setiap keinginan selalu terwujud. Aku dan bahkan kau mungkin tak harus menjalani kehidupan seperti sekarang. Eit, bukan mau memprovokasi supaya kau tidak bersyukur dengan apa yang kau dapat sekarang. Bukan pula mau mengajak berkomplot untuk menyesali apa yang telah terjadi. Pertanyaan ini pun bukan untuk kau yang merasa baik-baik saja dengan karirmu, pekerjaanmu, dan kehidupanmu sekarang. Indah sekali hidup jika ketika kau memilih sma favorit, berhasil. Kau memilih jurusan favorit apakah itu ipa atau ips, berhasil. Kau memilih universitas favorit, berhasil. Kau melamar pekerjaan di kantor tertentu, berhasil. Kau naksir si anu, berhasil. Kau melamar si anu, diterima. Tapi hidup yang kita jalani kan tak selalu seperti itu.

Tak bisa semua keinginan bisa terwujud. Kadang kalah, kadang menang. Kadang gagal, kadang berhasil. Kadang juga kita salah memilih. Kau ingin memilih ips waktu penjurusan di sma, tapi ketika guru menyarankan ipa dan teman-teman main pun banyak yang memilih ipa, kau ikutan. Apalagi jika tahu mitos bahwa siswa-siswa yang masuk jurusan ipa itu dianggap siswa dengan martabat yang lebih baik dari anak-anak ips. Ketika mau tes perguruan tinggi, kau mungkin memilih jurusan yang pesaingnya sedikit dari pada memilih jurusan yang kau sukai. Apalagi jika kemudian memilih atas nama dukungan keuangan yang tidak menunjang dan bahkan memilih karena paksaan orang tua. Semua hal harus dikompromikan. Sering kau melakukan sesuatu bukan atas dasar kau menyukainya. Karena kau belum dianggap manusia merdeka, bahkan oleh kau sendiri.

Apa pekerjaanmu sekarang?
Salesman ubin keramik?
Customer service?
Instruktur aerobik?
Dosen?
Bagian logistik?
Copywriter?

Yakin dengan pekerjaanmu sekarang? Bagaimana dengan, misalnya: sejak kecil kau berkeinginan jadi penyanyi. Kau ikut kontes menyanyi di sana-sini hingga puluhan trophy kau dapat, tapi hingga kini tak pernah terwujud keinginan menjadi seorang penyanyi profesional. Kau malah jadi bekerja untuk sebuah LSM yang mengurusi pembantu-pembantu rumah tangga yang terkena masalah di luar negeri. Kau ingin menjadi pemain sepak bola, namun malah terjerumus di perusahaan valas yang untuk menikmati weekend saja tak bisa karena harus terus mengawasi indeks saham Hanseng atau apalah. Puas dengan jalan hidupmu sekarang?
Orang bilang, jika kau bekerja pada bidang yang kau sangat cintai, sangat kau kuasai, kau akan mendapatkan hasil yang optimal. Jangan lalu melulu dikaitkan dengan perolehan materi, namun lebih pada kepuasan batin. Pekerjaan yang ketika kau harus mengerjakannya bahkan terus-terusan dalam 24 jam sekali pun kau tak akan mengeluh. Ini dia. Konflik yang sedang berkecamuk di dadaku. Pencarian tentang apa sesungguhnya yang bisa membahagiakan lahir bathin. Tentu tak harus naïf. Pekerjaan hanyalah salah satu faktor yang punya andil mempengaruhi kebahagian hidup secara keseluruhan.
Jadi, sudahkah kau pilih pekerjaan yang memang kau inginkan?

Kegelisahan ini bermula ketika beberapa waktu lalu aku berpikir tentang karir dan pekerjaan yang sekarang aku geluti. Bekerja di sebuah kantor akuntan publik sangat terkenal dengan penghasilan oke, jenjang karir yang jelas, kesejahteraan bagus: Siapa tak mau? Jadi seorang akuntan sesuai background pendidikan yang aku kecap. Ijazahku tak cuma-cuma, kan? Namun apakah pekerjaan yang sebenar-benarnya ingin aku jalani?
Kalo bukan, lalu apa?
Kalau iya, kenapa aku selalu merasa terpaksa menjalaninya?

No, ini bukan kejenuhan sesaat. Ini klimaks dari perasaan yang selama ini selalu aku tutupi. Perasaan yang sering muncul tapi seringnya aku abaikan dan aku timbun dengan makin giat bekerja, makin rajin bekerja. Semula aku juga menilai mungkin saja aku sedang bosan. Aku menghibur diri dengan mengambil cuti dan istirahat sejenak. Tapi kembali ke kantor, kembali ke persoalan yang sama. Aku sudah bosan bekerja!
Mengharapkan waktu dapat berputar jauh ke belakang, ketika aku ingin melangkah pada jalur yang benar, jalur yang sungguh-sungguh tak membingungkan seperti detik-detik ini. Seolah aku sedang tersesat dan ingin kembali ke waktu asal di mana semua bermula.
Harusnya aku jadi apa, ya?
Ya, olloh. Setua ini aku masih bermain-main dengan stupid question seperti itu? Logisnya, aku sudah memiliki karir yang mapan tanpa harus menengok ke belakang. Harusnya aku bersyukur dengan apa yang telah aku dapat.
Apakah kau punya pertanyaan sama, seharusnya kau jadi apa? Jika pertanyaan demikian muncul pada jaman sma, mungkin wajar saja. Kau mau jadi apa, ambillah kuliah atau kursus yang bakal memperlancar keinginanmu. Kau ingin jadi pengacara? Kuliahlah hukum. Kau ingin jadi aktor? Ambillah jurusan seni peran atau bergabunglah dengan kelompok teater. Apapun yang kau inginkan pada saat itu, cobalah wujudkan dengan memperdalam ilmu yang menunjang.
Namun kenyataannya, ratusan bahkan ribuan orang merasa salah memilih jurusan waktu kuliah. Ada yang buru-buru berkemas, ganti jurusan. Sebagian dengan segala pertimbangan, tetap meneruskan. Seperti juga aku, yang sebenarnya ingin memperdalam ilmu seni rupa. Namun karena ayahku begitu meyakinkanku untuk mengambil ilmu ekonomi saja, maka terceburlah aku di jurusan akuntansi. Kata beliau, melukis itu hanya hobby. Banyak orang tua yang memberi nasihat begitu ketika anak-anaknya ingin bersekolah seni.

Saat aku lulus kuliah, saat itu bisnis properti sedang menjulang. Pekerjaan pertama yang aku geluti adalah jadi tenaga penjual. Syukur, secara materi aku kecukupan sehingga untuk sementara aku tak memikirkan hal lain kecuali bagaimana menyenangkan hati dengan menambah terus pundi-pundi tabunganku.

Tak ada pilihan lain atau tak membuat pilihan, terkesan sama saja kala itu. Kenyataannya aku menerima pekerjaan apa saja yang pada saat itu ada di depan mata. Beberapa tahun masa kejayaan itu berakhir juga. Krisis moneter. Bisnis properti bertumbangan hingga perusahaan tempatku bekerja pun mengalami goncangan luar biasa. Aku harus sigap mencari pekerjaan baru. Saat itu, ada dua lowongan. Jadi akuntan di sebuah biro akuntan publik besar tempatku bekerja sekarang atau jadi manajer di sebuah galeri lukisan. Bekerja di galeri lukisan akan mengembalikan aku pada kesenanganku berkubang dalam dunia seni rupa. Namun karena paket gaji yang ditawarkan tak begitu elok, aku malah memilih bergabung dengan perusahaan yang menawariku penghasilan jauh lebih tinggi.
Memilih. Lagi-lagi aku harus memilih. Aku punya kesempatan memperbaiki nasib saat itu dan aku memilih pekerjaan yang menghasilkan uang banyak dibanding pekerjaan yang memberikan kepuasan batin. Waktu terus berjalan tanpa peduli aku membuat keputusan besar atau hanya sekedar melongo. Waktu terus berjalan apakah persoalan teratasi atau tidak.
Jadi apa seharusnya aku?
Sejak dari sekolah dasar, bakal melukisku sebenarnya sudah sangat terlihat dan diakui seantero sekolah. Aku sering mengikuti lomba dan sering menang. Hingga ayah menggiringku masuk sanggar lukis. Hingga sma kegiatan melukisku masih lancar. Namun ketika melukis ingin aku jadikan pilihan untuk kuliahku, ayah menentang dan aku tak mau membangkang. Apakah seharusnya sekarang ini aku jadi seorang seniman lukis?

Segelintir orang yang pernah bimbang dengan karirnya, lalu mengevaluasi apa yang seharusnya dia lakukan, akhirnya mereka berkeputusan untuk mengganti profesi. Misalnya, Ahmad Tedjakusuma. Aku kenal beberapa waktu lalu ketika sama-sama menunggu jadual periksa di klinik gigi. Aku tertarik membuka pembicaraan dengan lelaki ini karena dia sedang mengamati sejumlah foto hitam putih. Ahmad ini adalah pengacara di salah satu biro hukum sohor di daerah Sudirman yang gajinya saja dibayar dengan dollar. Sama kondisinya, dia pun pernah di ambang kebimbangan. Menjadi pengacara hanya sekedar ‘kebiasaan’ bagi keluarga besarnya dimana dia pun dituntut untuk berprofesi seperti itu, untuk mewakili setiap generasi. Namun sekuat apapun dia bertahan, dia tak kuasa menahan gejolak batinnya.

“Waktu itu saya ingin kuliah fotografi, bapak melarang. Tapi beliau tetap mendukung ketika saya ambil kursus fotografi dengan catatan asal kuliah hukum saya tak terganggu. Sekarang, Senin ke Jumat saya jadi pengacara, Sabtu-Minggu jadi tukang foto keliling. Siapa aja yang butuh jasa foto saya ladeni. Haha. Dari foto kawinan sampai foto mesum. Lumayan, buat nambah uang jajan. Tapi yang lebih penting, bisa menenangkan bathin.”
Satu orang lain yang juga kemudian memillih banting stir jadi fotografer adalah Rinaldy, sarjana manajemen. Satu jurusan semasa kuliah, tapi dia dua tahun di atasku. Jadi dekat karena dia pernah naksir anak sekelasku. Tak terlalu sering bertemu, tapi setiap kali bertemu, selalu dengan keluhan yang sama. Bosan dengan pekerjaan, konflik terus dengan atasan dan segala macam hal yang menurutku terdengar biasa tapi bagi dia sangat mengganggu. Well, dasarnya memang sudah tidak betah bekerja di kantornya sekarang, mau diapakan juga tak akan menjadi tampak lebih baik. Rinaldy ini seorang marketer bahan-bahan kimia. Aku pernah memberi saran ke dia untuk mencoba cari pekerjaan baru atau mengisi waktu luangnya dengan melakukan kegiatan yang bisa mengalihkan kejenuhan dari rutinitasnya. Tiga bulan lalu dia mengabari aku sedang ikut kursus fotografi. beberapa hari lalu, Rinaldy mengirim sms.
“Gue dah brenti kerja. Gue mau jadi fotografer aja.” Aku tersenyum membaca deretan pesan itu.

Selanjutnya, pada email yang dia kirim juga ke beberapa alamat lain, Rinaldy bercerita. Kelas dasar fotografi yang dia ikuti rupanya cuman sebulan, lalu ada kelas lanjutan yang lama belajarnya kurang lebih sama. Selama mengambil kelas, dia aktif melakukan hunting foto membuat foto-foto bagus mengisi waktu luang. Kebetulan ada sebuah perusahaan Jerman yang sedang mencari fotografer penuh waktu untuk diajak bergabung dengan team mereka. Perusahaan ini ingin mengangkat isu keindahan alam Indonesia dalam sejumlah terbitan buku sebagai wujud dari program tanggung jawab sosial perusahaan. Rinaldy mengajukan portfolio dan bersama satu orang lain dia diterima. Bulan depan dia akan mulai berkeliling Indonesia membuat foto. Tiga bulan penuh dengan kantung penuh! Tentu saja, buat Rinaldy ini awal yang sangat baik. Pantas saja tanpa keraguan akhirnya dia alih profesi.

Jadi teringat Charlie. Langsung aku telpon dia. Charlie yang juga seorang fotografer professional mengaku, “Gue happy dengan menjadi fotografer. Buat gue, ini adalah pekerjaan yang paling menantang. Tiap kali gue bermain dengan konsep. Bekerja sebagai fotografer, seperti bermain-main saja.” Charlie menambahkan, dia sama sekali tidak tahu apa yang menjadi keinginannya semasih muda. Kuliah di jurusan akuntasi dengan harapan bisa bekerja jadi akuntan, malah meleset jadi fotografer. “Mungkin jalan hidup gue harus seperti itu, ya?” Sekarang Charlie merasa enjoy geboy saja. Nggak ada keinginan dalam benaknya untuk beralih profesi.

Memilih profesi adalah memilih gaya hidup. Apa yang kau kerjakan, apa yang sudah kau raih, apa yang kau konsumsi, apakah semua bisa mencerminkan dirimu yang sebenar-benarnya? Apakah kau seorang pengacara, koordinator PR di sebuah perusahaan besar atau seorang manager marketing, apakah itu benar-benar profesi yang selama ini kau idamkan? Apakah kau pernah berpikir bahwa seharusnya karirmu itu adalah gaya hidupmu?
Aku bisa melihat pada Charlie. Bagaimana hidupnya seharian, bagaimana caranya memandang hidup. He loves photography and he chooses to be a photographer. Aku mencoba mengingat perjalanan karirnya. Waktu sama-sama kuliah di jurusan akuntansi dulu, tak pernah tercetus dalam obrolan kami untuk bekerja di bidang lain selain bekerja di bagian keuangan sebuah perusahaan. Tapi ketika lulus kuliah, aku, Charlie, dan teman-teman lain seperti baru masuk ke dunia nyata. Harus segera mendapatkan pekerjaan namun pekerjaan macam apa?
Charlie pernah ikut kelompok fotografi di kampus. Sejumlah pameran pernah dia ikuti bersama klubnya. Waktu lulus kuliah, selain melempar lamaran ke perusahaan-perusahaan yang membuka lowongan untuk bidang keuangan, lowongan buat fotografer pun dia masuki. Pekerjaan pertama dia adalah ketika diterima sebagai fotografer freelance di sebuah majalah remaja. Selanjutnya berpindah-pindah dari majalah satu ke majalah lain, dari tabloid satu ke tabloid lain. Siapa nyana dia jadi fotografer hingga sekarang? Ijazah sarjana hanya sebatas prasasti yang membuktikan bahwa dia pernah kuliah. Lingkungan pekerjaan, bidang pekerjaan, pelan-pelan membentuk Charlie baru. Charlie yang memiliki pergaulan luas, Charlie yang dikenal banyak model dan selebriti. A new brand of Charlie. He loves to be there. His profession creates his life style then. Hari-harinya diisi dengan kegiatan-kegiatan yang ia cintai.
Terkadang aku cemburu dengan keberhasilan Charlie.
*
Waktu harus mengaudit laporan keuangan sebuah perusahaan otomotif di daerah utara Jakarta, selama lebih dari dua minggu aku harus bolak-balik ke sana. Sempat berkenalan dengan Otto, sang manajer keuangan. Sering bertemu dan berbincang denganya, membuat aku lebih santai mengangkat topik obrolan apapun di jeda pekerjaan.
“Bekerja dimana saja akan sama. Kepuasan itu akan datang kalau kita bekerja dengan baik dan dapat pengharagaan sesuai dengan prestasi kita. Urusan bagaimana pekerjaan itu sesuai dengan bakat kita atau nggak, bukan soal. Tidak semua orang dibekali bakat khusus, kan? Apa yang kamu punya sekarang, syukuri aja. Nggak gampang juga nyari kerja, apalagi yang benar-benar sesuai dengan keinginan.
Kalau sekarang saya bekerja di bidang mesin, itu karena sejak dulu saya sudah milih mesin. Lulus stm mesin, kuliah di jurusan mesin. Lantas mau kerja di mana lagi kalo bukan di bagian mesin? Sepertinya, hidup saya memang sudah dijodohkan dengan mesin.” Bagi Otto, kalau pun harus mempelajari hal-hal baru yaitu hal-hal yang berhubungan dengan mesin-mesin baru dan segala permasalahannya. Tak pernah terbayangkan di kepalanya untuk mempelajari hal-hal baru lain yang tak berhubungan dengan mesin. Mesin is his life. Dia tidak mau membuang banyak waktu untuk memulai hal baru yang belum jelas apakah akan memberi manfaat banyak buatnya.
“Denger cerita saya,” Arifin mengetuk-ngetuk pensil ke lenganku. Aku tidak suka dengan gaya sok akrabnya. “Saya kerja udah tujuh tahunan. Umur udah tiga lima. Hari gini belum juga jadi manajer. Padahal saya yakin sudah bisa menjalankan tugas-tugas sebagai manajer. Harusnya saya sudah jadi manajer!” Jujur, aku suka dengan keterusterangan Arifin. Tapi aku tak begitu suka dengan semangat bicaranya yang rada aneh ini. Seolah aku ini dewa penolong yang bisa membantunya memberikan promosi. Arifin ini bekerja di sebuah toko furniture sebagai tenaga pemasaran. waktu luangnya, dia isi sebagai tenaga paruh menjadi konsultan interior. Dia datang ke apartemenku suatu malam untuk menunjukkan katalog produk. Aku sedang memilih sofa baru untuk mengganti yang lama yang aku rasa sudah butut. Dia merasa punya prestasi bagus sebagai tenaga penjualan. Menurutnya, karena perusahaan tempatnya bekerja itu milik keluarga, jadinya semua yang duduk di kursi manajemen masih dikuasai oleh anak beranak sang pemilik. Tidak perduli apakah mereka mampu atau tidak menjalankan tugasnya.

“Udah nyoba nyari pekerjaan lain?”
“Udah sering, pak. Persoalannya banyak. Bapak lihat iklan-iklan lowongan kerja. Rata-rata mereka mencari karyawan yang usianya masih muda. Kalau dengan umur saya sekarang, minimal jabatan yang ditawarkan itu manajer. Saya nggak bisa melamar kemana-mana akhirnya.”

Kita tak bisa sekedar berkeinginan. Tak semua orang punya kesempatan mewujudkan keinginannya. Ada orang yang menjalani hidup apa adanya dengan mengambil kesempatan apapun di depan mata. Mungkin dianggapnya itulah solusi. Yang penting bisa bertahan hidup. Tak ada yang akan bilang itu salah.
*
“Kenapa loe nggak balik ke cita-cita loe jadi pelukis?” Tanya Charlie suatu hari. Aku diam sejenak. Mencoba mengukur kedalaman dari cita-citaku di masa dahulu itu. Jadi pelukis? Ketika melukis dijadikan profesi, aku harus sudah siap dengan segudang ide. Bagaimana untuk bisa produktif, bagaimana pasar, bagaimana marketing? Sungguh bukan hal gampang segampang melorotkan celana untuk segera langsung tahu apa keinginanku.
Hingga berhari-hari kemudian, aku terus memikirkannya. Bukan hal sederhana. Ini taruhan masa depan. Aku tak mau terperangkap untuk kesekiankalinya. Suatu ketika hari nanti aku harus bisa menentukan, apa yang sebenar-benarnya aku inginkan di usia tiga puluhan ini. Mumpung jomblo, aku punya banyak waktu bahkan untuk mundur beberapa langkah ke belakang demi mencapai ketenangan bathin. Suatu hari kelak, aku harus bisa memutuskan. Aku harus mau mendengar apa kata hati. Mau terus jadi akuntan atau ganti profesi?


6

Rencana Rencana Rencana

Apakah kau akan menjalani saja hidup yang kau punya dengan cara seperti yang kau lakukan sekarang atau sekonyong-konyong ingin merubahnya?
Karena saat ini bukan awal atau akhir tahun, aku tak menyebutnya resolusi. Maka demi mewujudkan cita-cita masa remaja untuk bergelut di bidang seni, kini aku ingin mewujudkannya. Bukan jadi pelukis, aku akan memilih jadi pengusaha galeri lukisan saja. Selain bisa memamerkan dan menjual karya orang lain, aku juga bisa memamerkan karyaku sendiri.
Cita-cita masa lalu yang terpendam, menurutku bisa saja dia muncul tiba-tiba di kemudian hari. Awalnya datang sebagai bunga nostalgia dalam benak kita. Pelan-pelan dia akan memiliki bentuk yang lama kelamaan akan menyerupai kuntilanak yang terus-terusan menghantui. Cita-cita masa lalu yang tak terwujud seolah seorang anak yang kita punya lantas kita terlantarkan. Kini ia datang menuntut kita untuk merawatnya, membesarkannya. Aku tak mau jadi ayah yang tak bertanggung jawab dari seorang anak bernama cita-cita. Mumpung sedang diberi pencerahan, sebelum terlambat, aku ingin mewujudkannya.
Pelan-pelan aku memikirkan untuk mulai menyusun business plan. menghitung tabungan dan berapa banyak pinjaman modal yang bisa aku pinjam dari ayah, mencari lokasi, mengotak-atik desain interior, dan tetek bengek lainnya. Sore itu aku menulis email untuk Abigail dan Charlie. Aku ceritakan tentang rencanaku ini. Berharap mereka akan memberikan tanggapan.
*
Hampir tengah malam. Aku sedang bermain dengan kuas, cat minyak, dan kanvas. Ini bukan sekedar disemangati oleh rencanaku membuka galeri lukisan semata. Sebelumnya pun, pada saat-saat tertentu, ketika mood untuk mencorat-coret kanvas muncul, aku tinggal melukis saja. Biasanya melukis sosok manusia. Kadang hanya potret wajah, kadang lengkap sekujur tubuh. Beberapa aku pajang menghias dinding. Beberapa hanya menumpuk di gudang. Tidak tahu termasuk aliran apa gaya lukisanku. Sekedar untuk mengekspresikan hobi. Selain membaca dan nonton dvd, melukis adalah salah satu pilihan untuk mengisi waktu sebelum kantuk datang. Sungguh, ini bukan sekedar membunuh waktu sebetulnya. Melukis juga aku gunakan untuk membuat keseimbangan jiwa. Sejauh ini, cara itu lumayan efektif mengusir kejenuhan. Semasa sma, aku pernah ikut sanggar lukis. Namun kegiatan ini terhenti sejak aku masuk kuliah. Melukis jadi kadang-kadang saja.
Tiba-tiba nomor Charlie muncul di monitor ponselku.
“Udah tidur?”
“Belom. What’s up, bro?”
“Pengen cerita aja.”
“Yeah?” Sepertinya ada sesuatu yang benar-benar mengganggu pikiran anak itu hingga tengah malam begini masih ingin dia bagi. Aku melap tangan. Bangkit menjemput semangkuk Baskin Robin dalam lemari es dan mengecilkan volume cd player.
“Yeah?” tanyaku hati-hati sambil menjilati ujung.
“Gue baru baca email loe. Gue juga punya satu rencana. Sebenarnya udah lama ingin gue wujudkan.”
“Apaan? Pengen kawin?” tanyaku menggoda.
“Bonti, please.”
“Oke, oke. I’m listening. Apa loe pernah cerita-cerita ke gue soal ini? Sorry kalo gue lupa.”
“Beberapa kali. Kemarin-kemarin gue belum yakin amat apakah ini obsesi atau keinginan biasa aja.”
“Sekarang udah yakin?” Setahuku dalam setiap pertemuan Charlie sering ceplas ceplos saja jika punya keinginan. Ingin itu, ingin itu. Ingin begini, ingin begitu. Tapi aku tak tahu yang mana dari begitu banyak keinginan yang ia lontarkan ternyata merupakan sebuah rencana.
“Kayaknya.”
“So, what’s that?”
“I am thirty something, I am still jomblo.” Kalimatnya terputus begitu saja. Agak lama aku menunggu dia melanjutkan. Terdengar seperti keluhan. Tapi tidak tahu apa maksud Charlie sesungguhnya.
“So…?” tanyaku sambil menebak arah pembicaraannya. Dia tertawa. Seolah sudah tahu betul bahwa lawan bicaranya akan spontan balik bertanya.
“So…?’ tanyaku lagi, penasaran.
“Gue mungkin berhenti kerja akhir tahun ini.” Oops! Dahiku mengkerut. Nyaris seperti rencanaku.
“Dapat kerjaan baru? Mulai bisnis baru?”
“Nggak juga. Berhenti aja. I have a plan.”
“Rencana apa?”
“Gue pengen railing keliling Asia. Tiga bulan, enam bulan, setahun atau lebih.”
Hampir dua puluh menit kemudian kupingku dibuat penuh dengan rencana-rencana edun Charlie. Seolah ia sudah menyiapkan segala sesuatunya dengan rapi dan matang. Rencana yang jauh lama sudah disusun dari pada punyaku. Tinggal menunggu waktu. Aku percaya, dalam dadanya seolah ada satu bom waktu yang sudah tersulut dan siap meledak jika waktunya tiba. Tak ada bedanya, meledak jika tenyata rencana itu batal atau bahkan meledak jika rencana itu terkabul. Charlie sangat ekspresif.
Sobatku itu terus saja bercerita tentang jalur-jalur kereta yang akan ditumpanginya. Sepertinya peta benua Asia sudah dia hapal dengan benar. Mulai dari Singapura, tembus ke Malaysia, Thailand, Vietnam, terus, terus, hingga ke Soviet mengejar trans Siberia. Pada saat itu, aku selalu tahu pasti apa yang seharusnya aku lakukan. Mendengarkan. Imajinasinya liar. Ini bukan kali pertama dia bicara tentang rencana petualangannya itu. Setidaknya tiga kali, dengan versi yang terus disempurnakan. Hal-hal yang jauh dan tak pernah terlintas di pikiranku sedikit pun. Ya, aku pengen ke Metro Paris. Ya, aku pengen ke ibu kota-ibu kota banyak negara besar. Tapi tempat-tempat yang aku sebut tak pernah masuk dalam hitungan dia.
“Maksud loe dengan melakukan semua ini?”
“Because I am thirty something, I am still jomblo. But you are not invited.” Katanya sambil pamitan, meninggalkan aku yang masih terbengong-bengong. Thirty something dan masih jomblo. Satu keadaan yang mau tak mau harus dihadapi, bukan? Lalu apa hubungannya dengan rencana dia meninggalkan tanah air, berlama-lama, bukan untuk bekerja atau bersekolah, tapi malah jalan-jalan? Apa hubungannya dengan kejombloan? Apakah rencanaku untuk membuka galeri berhubungan dengan status jombloku?
Ketika besok paginya aku terbangun, aku merasakan sakit kepala bukan main. Rasanya tidurku tidak begitu nyenyak. Mataku nanar menatap langit-langit kamar. Ingat obrolan dengan Charlie semalam.
*
Berhari-hari kemudian, yang paling mengganggu pikiranku ternyata bukan karena statusku yang masih jomblo. Sesuatu dalam pikiranku yang saat ini sedang getol aku prioritaskan adalah memikirkan bagaimana rencana besarku bisa terwujud. Seolah sudah bulat. Seolah tak ada hal lain yang lebih penting dibandingkan dengan rencanaku. Satu-satunya hal yang akan merubah warna kehidupanku. Siapkah?
Sementara itu dua kali si Rudy Kempot menawarkan untuk mengenalkan aku ke sepupunya yang baru tiba dari Pontianak. Baru untuk yang ketiga kalinya aku menyanggupi. Rudy yang sok imut karena lesung pipitnya ini teman di gym. Dia sekaligus marketing manager di pusat kegugaran itu. Kencan three some itu disi dengan menonton pameran komputer di JCC. Namanya Jacinta. Cukup menyenangkan, selain juga memang cantik. Sederhana tapi berkelas. Pendeknya, aku jatuh suka pada pertemuan pertama. Perempuan berambut sebahu ini baru selesai masa kontrak kerjanya di sebuah perusahaan asing di Pontianak. Kembali ke Jakarta dengan masih menyandang predikat jomblo. Jomblo bertemu jomblo, gayung bersambut.
Tidak perlu menunggu seminggu, hari berikutnya aku telpon dan aku ajak jalan, dia mau juga, tanpa Rudy. Dan hari berikutnya, dan hari berikutnya. Beberapa kali Abigal dan Charlie mengajak bertemu, aku selalu mengelak.
Di saat lain, aku terus bergelimang dengan ide dan rencanaku. Aku merasa telah masuk dalam satu klub pengemban tugas untuk melakukan perubahan hidup. Aku percaya tidak semua orang punya kesempatan bahkan untuk berpikir ke arah sana sekalipun. Tapi banyak juga yang mungkin sudah melakukannya. Aku tak mau keburu tua tanpa melakukan perubahan dalam hidupku. Siapa tahu ini satu-satunya kesempatan dimana aku boleh melakukan sesuatu yang besar.
*
Perutku sudah sangat kelaparan. Tapi Abigail dan Charlie yang mau menjemput belum muncul juga. Malam itu, kami berencana hunting sea food di sepanjang jalan Sahari. Setelah aku nyaris semaput karena kelaparan, barulah dua begundal itu muncul dengan sejuta kata maaf karena mereka mesti mampir-mampir ke laundry dululah, ke rental dvd dululah, ke atm dululah. Charlie yang menyetir.
“Masih dengan rencana loe keliling Asia, kan?” tanyaku membuka topik.
“Masih.”
“Sejauh mana persiapan loe?”
“Masih nyiapin ini itu. Masih terus hidup hemat biar punya bekal banyak. Hehe. Masih terus browsing nyari info tentang tetek bengek dari negara-negara yang bakal gue kunjungi. Tempat-tempat menarik. Kalender budaya. Kebiasaan orang-orangnya. Pondokan-pondokan murah. Gue juga udah nelponin beberapa kedutaan tentang tata cara dapetin visa. Kali aja gue makan waktu lama berdiam di satu negara. Mesti dapat ijin tinggal, kan?
Masih terus ngumpulin peralatan backpacking. Gue juga udah bilang ke boss. Doi ngedukung. Malah dia ngenalin gue ke temennya yang penerbit buku. Gue diminta nyiapin satu konsep buku yang mau gue buat. Gue udah presentasi. Mereka tertarik. Nantinya gue nggak sekedar moto macem-macem, tapi juga nulis. I think it’s a great idea. Gue diminta nyerahin contoh tulisan gue. Soalnya selama ini gue kan cuma jadi fotografer. Nantinya gue nggak bener-bener berhenti karena rencananya gue bakal dikasih kolom khusus untuk gue asuh selama gue dalam perjalanan.
Gue akan menulis tentang apa saja dan segala macam pengalaman yang gue hadapi. It’s cool, isn’t it? Gue udah ngga sabar.”
“Rencana loe sendiri gimana?” Charlie balik tanya.
“Terus jalan. Masa persiapan. Mungkin akhir tahun gue juga resign.”
Tiba di jalan Sahari, sambil menunggu pesanan tiba, pertanyaan aku alihkan ke Abigail.
“Loe sendiri punya rencana?”
“Gue pengen bikin confession,” kata Abigail sambil tersenyum misterius dan dia belum mau memberikan petunjuk apa-apa tentang pengakuannya itu.
Selama makan malam itu, ganti-gantian aku dan Charlie saling membahas rencana masing-masing. Termasuk rencana-rencana alternatif jika rencana utama gagal. Aku merasa adrenalinku sudah di ubun-ubun. Siap muncrat.
“Well, itu kan masih beberapa bulan lagi. Hal yang sekarang mendesak adalah, gue pengen nembak cewek!” kataku bersemangat.
“Siapakah cewek malang itu?”
“Jacinta.”
“Mantannya si Rudy Kempot?”
“Sepupu!”
Cumi goreng tepung, cah kangkung, kepiting, hingga rupa-rupa kerang masih terus berpindah ke perut. Kalau tadi aku nyaris semaput karena kelaparan, sekarang aku nyaris pinsan karena kekenyangan. Kami bertiga akhirnya harus hom pim pah untuk menentukan siapa yang harus menyetir pulang.
“Hom pim pah hom pim pah alaihim gambreng…”
“Bonti nyetir!”
*
Rencana juga tak hanya milik aku, Abigail ataupun Charlie. Beberapa bocoran rencana juga aku dapat dari Herman, Rudy Kempot, dan Bambang Roy.
Bicara tentang rencana, aku merasa perlu berdiskusi dengan Herman, manusia yang selalu menempatkan rencana di atas segala-galanya. Jauh sebelum menikah, dia sudah berencana harus memiliki rumah. Jauh sebelum menikah, dia juga harus sudah punya usaha dulu. Tidak mau dia terus-terusan bekerja untuk orang lain. maka ketika dia sudah menikah, dia bisa langsung menempati rumah barunya. Dia berhenti kerja beberapa hari sebelum acara pernikahannya dan langsung terjun ke bisnis yang sudah dia rencanakan sebelumnya. Kebetulan pasangan itu menyukai hewan-hewan peliharaan, lalu mereka memanfaatkan kesenangannya itu sebagai bidang usaha yang mereka geluti. Salon hewan. Di rumah mereka yang bergaya kampung, mereka buka usaha Bukan sekedar mempercantik hewan tapi juga menjual berbagai aneka hewan peliharaan dari mulai kelinci, ular, kura-kura, anjing, kucing, sampai tikus.
“Tujuan dulu kita tentukan, baru rencana kita atur. Rencana itu ibarat strategi untuk mencapai tujuan.” Kata Herman bijak.
Bisa juga rencana itu datang bersamaan dengan sebuah kesempatan. Bambang Roy yang pernah aku kenalkan sebagai art director dari sebuah perusahaan periklanan itu, sedang merencanakan membuat sebuah album rekaman.
“Bukan gue yang nyanyi.” Sangkalnya sambil tertawa melihat mataku yang seolah menuduh. “Teman gue, Julia. Dia penyanyi café. Seorang produser dari perusahaan rekaman menawari dia buat bikin album. Gue cuman menyumbang beberapa lagu ciptaan gue.”
Aku terkagum-kagum dengan bakat Bambang Roy yang tak pernah aku tahu sebelumnya itu. Menurut Bambang, tak pernah terpikir sebelumnya dia bakal bisa menulis sebuah lagu. Ketika Julia bercerita, tiba-tiba saja dia tertantang untuk menulis lagu. Alhasil, dua buah lagu bisa dia ciptakan. Waktu diperdengarkan ke sang produser, langsung disetujui untuk ikut direkam.
“Gue juga nawarin diri buat bikin video klipnya. Tahulah gue caranya jadi sutradara dan megang kamera sedikit-sedikit. Kalo di kantor ada shooting-shooting iklan, gue suka ikutan. Gue bikin demo, gue ajuin juga ke si produser itu. Oke, katanya.
Kali ini, biar dibayar murah pun tak apa. Asal ongkos produksi bisa nutup. Rencana gue, ini buat menapaki kemungkinan jadi pembuat video klip buat karir baru gue nanti. Bikin lagu cuman buat pembuka jalan saja.” Aku lebih terkagum lagi.
Senang rasanya bisa bertemu dengan orang-orang optimis. Melihat masa depan dengan penuh harapan. Banyak keinginan, banyak harapan. Mestinya harus dibarengi dengan banyak usaha pula, bukan?
Juga Rudy kempot. Sambil berbisik-bisik dia menjawab pertanyaanku.
“Gue mau kawin.” Aih-aih, Rudy. Senangnya. Bagaimana rasanya ada pada suatu ketika di mana tiba-tiba saja kesempatan untuk melangsungkan pernikahan ada di depan mata? Aku belum pernah menghadapinya. Dengan membayangkannya saja bikin aku merinding panas dingin. Antara girang dan bingung, mungkin. Hari-hari Rudy mulai disibukkan dengan mencari gedung buat resepsi, menyiapkan desain kartu undangan, baju pengantin, ini itu.
Lalu sejumlah teman tiga puluhan tahun berbagi cerita tentang rencana-rencana mereka. Some are so so, some are spectacular.
“Gue lagi ngurus visa ke Belanda. Minggu depan ke sana. Traveling!”
“Beli mini theatre! Uangnya belum cukup, tapi. Nunggu gajian bulan depan ‘kali.”
“Naek puncak Semeru! Tahun lalu ke sana, tapi karena gue sakit, nggak sampai puncak.”
“Ambil kursus bahasa Prancis! Senin depan mulai.”
“Tes TOEFL! Lagi belajar terus, neh. Lusa tesnya.”
“Ngecat rambut! Ungu!”
“Ganti jok mobil!”
“Beliin ortu gue tiket naek haji!”
“Donor sperma!”
*

7

Bujang in Love

Sinting. Inilah rasanya jatuh cinta. Lama nian aku tak merasakan. Rindu. Rindu. Rindu. Rasanya gelegak energi begitu besar untuk bisa mencintai.
Abigail datang seorang lelaki muda, setidaknya leibh muda kalau melihat perawakan dan garis mukanya. Betul saja, “dia masih kuliah. Semerster lima.
Aku dan Charlie mencoba mengerti siapa Erik ini. Sepertinya mereka sedang jatuh cinta.
Aku jadi teringat dengan kejadian yang sedang aku alamai juga. Mungkin seperti itulah sorot mataku.
Bonti, ada hal serius yang ingin gue ceritakan.
Tentang jacinta.
Dia datang ke Jakarta bukan untuk apa. \
Dia sebtulnya kabur.
Di sana dia paksa kawin.
Karena kesehatan ibunya memburuk, dia akhirnya balik.
Dia tak mau membiarkan ibunya
Dia bersedia mengawini pria yagn dipilihkan orang tuanya.
Aku seperti sedang mendengarkan synopsis sebuah sinetron. Benar-benar tak percaya dengan smeua apa yang aku dengar.


Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.