Sebetulnya bukan kebiasaan saya untuk keluar kantor di waktu-waktu seperti itu. Biasanya saya akan berlama-lama di kantor, mengisi waktu dengan browsing, baca tulis email, atau menyanyi keras-keras mengikuti lagu-lagu dari MP3. Ketika langit sudah betul-betul gelap dan saya rasa volume kendaraan di jalanan sudah sedikit menyusut, baru saya berkemas.
Banyak bagian badan jalan tergenang air hujan. Mendekati sejumlah kolong fly over, jalan menyempit disesaki para pengendara motor yang berteduh. Hanya menyisakan sedikit ruang buat kendaraan roda empat untuk berlalu sehingga kemacetan kian menjadi-jadi.
Saat arus kendaraan tak bergerak sama sekali, saya biarkan wiper tidak bekerja. Memandangi curah air yang berjatuhan di atas cembung kaca mobil yang lalu bias mencelat. Berpola. Berirama. Saat itu, tak ada keinginan untuk melakukan apapun di benak saya kecuali pulang. Mungkin mandi cepat lalu menonton ulang film Notting Hill. Mungkin membaca ulang The Alchemist-nya Paulo Coelho. Mungkin langsung tidur.
Sambil menyetir, saya disibukkan oleh sejumlah telepon masuk.
"EX, yuk!?"
"Sorry, gue mau pulang cepet."
"Udah punya acara buat malam ini? Anak-anak mau karaoke. Mau gabung?"
"Hei, cakep. Si Nurul mau open house. Kita semua diundang. Mau jemput aku jam 8…?!"
"Ikut nonton, ga? Si Peggy udah ngantri tiket. Mau sekalian dibeliin?"
"Kita mau boling, tapi mau pada makan dulu. Ketemuan di Menteng, ya!"
Begitulah. Jumat malam, selepas jam kantor, ketika hujan deras mengguyur kota, saya memilih pulang. Saya memilih sendirian.
Membujang itu sebuah pilihan. Ketika kamu harus memutuskan berhenti dan keluar dari sebuah hubungan, kamu telah menunjukkan kemandirian sebagai seorang manusia dewasa. Tak ada yang salah dengan itu. Karena tentu saja begitu banyak orang yang berpura-pura bahagia membina sebuah hubungan namun ternyata tidak.
Membuat keputusan untuk menjadi bujang merupakan bentuk dari kemerdekaan. Ketika kamu merasa terjajah oleh hubungan yang kamu rasa tidak sehat, tidak membuatmu nyaman, untuk apa harus bertahan? Kepakkan sayap, tebang sejauh mungkin. Kamu tak ingin menyia-nyiakan hidupmu dalam istana yang bernama ketidakbahagiaan, bukan?
Pernah suatu ketika saya berpandangan bahwa memiliki pasangan itu bisa menaikkan martabat. Sekedar untuk memberikan kesan kalau saya bukanlah makhluk kesepian, bahwa saya punya tanggung jawab, bahagia, bisa berbagi, bisa bertoleransi, bisa membina sebuah hubungan. Haha, kamu tak harus setuju.
Kecuali jika saya benar-benar tampan dengan bentuk tubuh laksana patung dari sudut kota-kota tua Yunani, jangkung, ramping, kering dari lemak, hari-hari saya mungkin akan selalu disibukkan dengan acara kencan. Saya akan menjadi rebutan para produser sinetron dan tentu saja, makhluk bernama perempuan. Saya akan mudah berkenalan dengan makhluk-makhluk berpayudara itu tanpa harus berusaha super keras. Mereka akan datang dengan sendirinya. Niscaya, beragam jenis spesies dari mereka akan mudah saja aku geret ke bioskop, café, atau sekedar jalan di mall. Ya, kencan. Kegiatan apalagi yang paling diminati para bujangan selain segera mendapatkan pasangan?
Kencan adalah awal sebuah hubungan. Jika kedua belah pihak saling ternyamani satu sama lain, maka kencan-kencan itu akan berlanjut terus, hingga terjalinlah suatu hubungan khusus. Kalau hubungan itu sudah khusus, tinggal merancang apa saja untuk masa depan. Tinggal kesepakatan dua belah pihak mau dibawa kemana hubungan itu, menurut saya. Punya pasangan itu bisa menaikkan martabat, menurut saya. Memberikan kesan kalau kamu bukanlah makhluk kesepian, punya tanggung jawab, bahagia, bisa berbagi, bisa bertoleransi, menurut saya.
Padahal, jikapun ada voting, tak akan ada orang yang bilang saya buruk rupa. Untuk sementara, status bujangan saya tak ada hubungannya dengan fisik.
“Gue akuin, loe cakep, menarik. Usaha loe juga cukup keras untuk mendapatkan pendamping hidup. Mau bilang apa, kalau ternyata jodoh loe ternyata bukan sekarang-sekarang ini datangnya. Jodoh itu gaib. Bisa saja orang yang loe kenal sekian tahun lalu, bisa saja yang yang bakal loe kenal lima tahun di depan, bisa saja yang setiap hari loe temuin. Bisa siapa saja,” kata Elizabeth yang biasa dipanggil Ibeth.
“Hah? Yang tiap hari gue temuin? Pembantu gue, dong?” teriak saya sok panik.
Nyatanya, biar banyak lembaga yang mengakui ketampanan saya, ditunjang dengan bodi yang cukup proposional, dengan anatomi lengkap, bukan hal mutlak yang signifikan dengan kemujuran saya mencari pasangan. Modal ini hanya menunjang rasa percaya diri saja yang memang layak dipujikan.
Akibatnya, dengan berbagai pengalaman jatuh bangun dalam urusan bercinta, tetap saya harus berusaha ekstra keras ketika jatuh suka sama seseorang. Ekstra keras untuk mengatur strategi agar bisa bersapa, mengajak jalan atau apalah. Sehingga ketika berkesempatan punya jadual kencan, saya akan bersyukur ampun-ampunan. Saya akan nikmati setiap detik dari peristiwa itu. Saya akan selalu berhati-hati dan melakukan persiapan matang agar acara kencan bisa terselenggara dengan paripurna.
Ternyata, kencan yang sudah disiapkan matang pun tak selalu membuahkan hasil. Nyatanya, I am thirty something and I am still bujangan. Entah di mana perempuan idaman yang memiliki visi dan misi yang sama dengan saya dalam menjalani hidup di masa depan. Sungguh, bukan maksud hati menunda-nunda pernikahan. Wong pasangan saja belum punya. Padahal ingin sekali seperti teman-teman seusia lainnya yang sudah bersibuk-sibuk mengantar isteri periksa kandungan, menafkahi anak isteri, mendekorasi ruang bayi, berdisikusi tentang kriteria baby sitter yang akan direkrut, memilih buku-buku dongeng untuk dibacakan menjelang anak-anak tidur, menyusun acara piknik setiap akhir pekan, berlebaran di rumah mertua, menyeleksi pre-school atau kindergarten… Menarik, bukan?
Yes. Saya memang sedemikian gelisahnya. Saya sedang ingin buru-buru berpasangan. Di mana tuhan sembunyikan jodoh saya, ya?
“Kau tak harus selalu berkeyakinan seperti itu. Jika benar dan kau percaya itu, kau tinggal duduk manis di rumah pun, jodoh itu tokh tak akan kemana-mana,” pendapat Ira Silaban, seorang teman saya ketika saya berargumen bahwa kita tetap harus berusaha untuk mendapatkannya. Seperti juga rezeki. Uang tak akan datang dengan sendirinya jika kita tak mau berusaha.
“Kau bertemu seseorang, kau suka sama dia, lalu kau cari cara untuk dekat dengan dia. Kalian suka-sukaan, lalu sekian waktu kemudian kalian menikah. Kau bilang itu jodoh? Lalu kalau sebulan kemudian kalian bercerai, kau bilang dia bukan jodohmu? Bulan berikutnya, kau bertemu perempuan lain, sama kau menikahi dia juga. Tak berapa lama kau cerai lagi? Atau kau bertahan saja biarpun kau merasa dalam neraka perkawinan. Mau kau sebut berapa banyak jodoh yang tuhan buat untuk kau?” sambung Ira.
“Dengar kataku,” saya menyimak omongan Ira. Gayanya seperti inang sepuh yang sedang memberi petuah. “Jodoh itu kita yang buat. Kau bisa saja melamar aku saat ini. Lalu aku terima. Kau bisa sebut aku ini jodohmu. Kita sendiri yang membuat kita berjodoh. Kita bertemu dan berteman sedemikian lama saja sudah bisa dibilang berjodoh. Besok kita berantem hebat lalu pertemanan kita putus, bisa dibilang kita tak berjodoh lagi sesudahnya.
Agak sulit menerima pernyataan Ira. Tapi maksud saya emang tidak untuk mengajak dia berdebat. Sekedar meminta pendapatnya. Well, kalau menuruti omongan Ira, saya akan berhenti menggunakan istilah mencari jodoh. Saya akan gunakan istilah ‘mencari pasangan hidup’. Dan saya tak akan pernah berhenti mengejar perempuan yang kiranya saya suka. Dengan harapan, siapa tahu dia yang kelak jadi pasangan hidup saya. Saya ingin bertemu pasangan hidupku segera, bukan sepuluh tahun lagi.
Menurut Ibeth, “Jodoh ini hanya persoalan waktu saja. Semua hal di dunia ini ada sebab akibat, yang bermuara pada waktu. Biarpun loe udah mati-matian mengejar perempuan yang loe kira itu jodoh loe, jika waktunya belum tiba, loe tak akan bisa menggapainya. Usaha itu emang penting. Loe tak akan mendapat apa-apa jika hanya diam. Katakan, jodoh loe adalah tetangga loe, tapi loe tak mau bersosialisasi. Bertemu hari ini dengan tahun depan tentu beda. Satu tahun loe punya kesempatan mengenal dia.”
“Tapi, tetangga gue janda berumur 70 tahun…”
“Kalau memang itu jodoh seperti yang loe percayai, bisa saja suatu hari nenek itu mengetuk pintu loe, lalu melamar loe.”
“Tolong…”
***
Another Jumat, jauh lewati jam kantor, hujan masih tak lupa untuk membasahi jalanan. Kembali saya memutuskan untuk pulang saja. Tak ada lagi yang bisa dikerjakan. Berlama-lama di kantor setiap sore sebenarnya lebih untuk menghindar dari kemacetan. Tapi hari ini Jumat. Bahkan hingga lebih larut pun, jalanan tak akan lebih lengang. Gaya hidup cosmopolitan yang dikumandangkan pengusaha retail, media, maupun para public figure, telah menyeret masyarakat ke dalam hedonisme. Bersosialisasi after dark, menjadi salah satu pembenaran untuk sekedar merayakan kebebasan dari seminggu berkutat dalam rutinitas pekerjaan. Pelariannya adalah pusat-pusat keramaian. Menggairahkan buat aku amati. Semua orang terlihat seolah bahagia. Semua orang ikut dalam hiruk pikuk. Semua orang merasa penting dan berperan. Berbagai jenis meeting point kebanjiran tamu; café, restaurant, plaza, mall, bioskop. Tinggal menyesuaikan budget dan jenis kepentingan saja.
Ketika hujan tak mereda malah melebat dan kemacetan sama sekali tak memberikan harapan, bolos ke kelas gym pada hari pertama sepertinya menjadi hal yang menarik. Saya menyibukkan diri dengan telepon selular.
Ketika hujan tak mereda malah melebat dan kemacetan sama sekali tak memberikan harapan, bolos ke kelas gym pada hari pertama sepertinya menjadi hal yang menarik. Saya menyibukkan diri dengan telepon selular.
“Citos, yuk!?”
"Gua masih di kantor. Next time, ya."“Citos, yuk!?”
“Aku on the way ke Bandung, neh. Besok malam pulang. Minggu aja kita ketemuan, gimana?”
“Citos, yuk!?”
“Gue dah dua hari gak masuk kerja. Kena demam, euy.”
“Citos, yuk!?”
“Heh, gue lagi di Bangkok. Dari kemaren, sampe minggu depan. Gue ada kirim loe email. Gak masuk-masuk. Kepenuhan ‘kali, tuh. Kalau udah balik, gua telpon loe, yee…”
“Citos, yuk!?”
“Aku masih harus ketemu customer di Kemang. Lain kali aja, ya?”
“Citos, yuk!?”
“Lagi bokek. Mau langsung pulang aja.”
“Citos, yuk!?”
“Ogah, ah. Kejauhan. Kelapa Gading aja, yuk!?”
“Citos, yuk!?”
“Telat. Tadi siang gue janjian sama si Bayu. Dia nelpon. Mau liat pameran komputer di JCC. Gabung gue aja! ”
“Citos, yuk!?”
“Masih inget gue, loe? Gue lagi di rumah cowok gue. Loe cari cewek lain aja, gih. Hihi.”
“Citos, yuk!?”
“Telat. Tadi siang gue janjian sama si Bayu. Dia nelpon. Mau liat pameran komputer di JCC. Gabung gue aja! ”
“Citos, yuk!?”
“Masih inget gue, loe? Gue lagi di rumah cowok gue. Loe cari cewek lain aja, gih. Hihi.”
Jumat selepas jam kantor. Sendiri di belukar kemacetan lalu lintas. Di luar, hujan masih menderu. Kemana mereka? Ketika saya membutuhkan seseorang untuk bisa menghabiskan sisa hari Jumat ini, kenapa tiba-tiba semua orang menjadi sangat sibuk?
Menurut saya, hanya ada dua alasan mengapa seseorang seperti saya ini sendirian di tengah hiruk pikuk kota. Bisa karena pilihan sendiri untuk menyendiri atau karena tak diundang.
Saya boleh memilih untuk sendirian dengan segala alasan yang saya punya biarpun undangan dari sana-sini minta saya untuk datang. Saya bisa bilang kecapaian, sibuk, ada urusan, tak punya uang, atau sakit. Atau saya harus bisa mengahadapi kenyataan ketika sejumlah teman berkumpul tapi tak satupun dari mereka mengundang. Saya tak diundang! Kedengarannya menyedihkan. Namun hal ini kerap terjadi. Bisa saja karena saya terlupakan. Bisa karena menganggap saya tak dibutuhkan. Tak berguna. Tak asyik. Mereka bosan karena beberapa saya diajak tapi saya tak datang. Bisa sejuta alasan.
Saya tak perlu kecewa.
*
Comments