Skip to main content

Tentang Emak


Pagi-pagi, dapat kiriman video komersil sebuah restoran Thailand. Tentang Hari Ibu, tentang Ibu. Duh, selama menonton video itu, bikin air mata saya deras mengalir. Lalu tiba-tiba jadi kangen Emak saya. 

Emak saya lahir tahun 1943, sepuluh tahun lebih muda dari Bapak. September ini, umurnya akan 72 tahun. Sudah sepuh. Sementara Bapak, sudah pergi mendahului sekitar dua puluh tahunan lalu. Hingga saat ini, alhamdulillah, Emak diberi kesehatan yang baik, kecuali keluhan-keluhan kecil. 

Salah satu alasan saya ingin buru-buru pulang dari Australia adalah, ingin segera kembali berkumpul dengan Emak saya, sehingga saya bisa menjaga beliau, meskipun tak tinggal satu kota. Saya selalu ingin Emak saya sehat. Lahir dan bathin. Dan saya ingin Emak bahagia di usia lanjutnya. Ingin mengabulkan seluruh keinginannya. 

Saya yakin Emak tidak ingin meminta makanan enak. Emak hanya ingin pergi umrah. Meskipun beliau sudah pernah berhaji bersama Bapak sekian puluh tahun lalu, tapi mungkin beliau ingin pergi lagi. Mungkin Emak sedang ingin mengenang Bapak. Mungkin karena ingin semakin mendekatkan diri dengan Allah. Lalu saya berjanji dengan hati, untuk mewujudkan keinginannya. 

Lalu, setiap ada uang sisa saya menabung. Seratus, dua ratus, tiga ratus. Seminggu, dua minggu, sebulan, dua bulan, setahun, dua tahun... Karena saya hanya seorang dosen PNS, mengumpulkan uang dua puluh juta bukanlah hal yang gampang. Saya benar-benar harus berdisiplin menabung, untuk mewujudkan mimpi Emak.

Allah mengijinkan doa kami. Uang terkumpul dan Emak sehat. Lalu, beberapa bulan lalu, Emak berangkat. Leganya hati saya, tak dapat digambarkan dengan kata-kata.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.