Skip to main content

Slavery in Mauritania

hsi-email-logo-2013.jpg   

Dear Usep,
We need your help to end slavery in Mauritania­.

When Moulkheir Mint Yarba came back from a day of tending her master’s goats under the harsh glare of the Saharan Desert, she found something inconceivable: her tiny baby daughter had been left outdoors to die. Her master wanted to punish her, saying she would work faster without the child to tend to.1

It’s like something from another era, right?

Sadly stories like this are all too common across Mauritania, a country where slavery remains entrenched in society, and its prevalence is perpetuated by hereditary or chattel slavery - a system where slave status is inherited from generation to generation and is deeply rooted in social castes and wider societal pressures.2

But there is cause for hope. There are a growing number of anti-slavery activists in Mauritania who are working hard to help women like Moulkheir, and to eradicate slavery in Mauritania. The government’s response is to crack down on them, imprisoning them under trumped-up charges. 3

That’s where we come in. We can turn this into an international outcry so that the Mauritanian government can no longer silence anti-slavery activists, and can no longer ignore the problem of slavery that has been disregarded for so long.

Call on the Mauritanian authorities to release anti-slavery activists today.

In solidarity,

Victoria, Alex, Sonia and the rest of the Walk Free team

1 http://edition.cnn.com/interactive/2012/03/world/mauritania.slaverys.last.stronghold/

2 http://www.globalslaveryindex.org/country/mauritania/

3 http://www.theguardian.com/global-development/2015/jan/17/mauritania-anti-slavery-activists-jailed-biram-ould-abeid

Walk Free is a movement of people everywhere, fighting to end one of the world's greatest evils: Modern slavery.

Follow on Twitter | Friend on Facebook | Subscribe on Youtube | View this email in your browser

This email was sent to usepsuhud@yahoo.com. You can unsubscribe from WalkFree.org at any time.

© 2015 WalkFree.org | All rights reserved | www.walkfree.org

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.