Skip to main content

Ikut Arbuhum




Sekalian ada conference di Bandung, saya ajak keluarga untuk ikut. Conference ini menjanjikan paper yang lolos akan diterbitkan pada jurnal yang terindeks Scopus. Itu salah satu pamrih mengapa saya ikut di Arbuhum ini - nama conference-nya. Bahkan saya ajak teman-teman dosen lain. 

Ada sekitar 60 orang dosen tertarik, kumpul bareng untuk menyiapkan paper. Mereka yang tidak bisa menulis dalam Bahasa Inggris, saya hubungkan dengan penerjemah. Mereka yang gaptek, saya bantu daftar. Tentu saja semua itu saya lakukan semata-mata karena pimpinan kampus menghendaki angka 300 paper yang terbit pada jurnal terindeks Scopus bisa tercapai di tahun ini. Bukan pekerjaan mudah. Jangankan 300, satu saja susah.

Eh, saya kira pimpinan serius mau mengejar angka 300. Begitu ada proposal 19 judul diterima, malah ditolak. Mereka tidak mau membiayai. Jleb. Rasanya juntai. C' on! Bagaimana saya menghadapi puluhan dosen yang telah begitu bersemangat menyiapkan diri? Innalillahi. Saya benar-benar pasrah, biarkan Allah yang mengatur semua sesuai dengan kehendak-Nya. Usaha saya sudah pol untuk memajukan kampus. Jika ternyata tidak dihargai oleh pimpinan, urusan saya bukan dengan manusia lagi, tapi dengan Sang Pencipta.

Maka, alhamdulillah saya punya rezeki, bisa membayar conference sendiri. Bisa mempresentasikan dua paper sekaligus. 

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.