Skip to main content

Airbnb in Shanghai



Tanggal 14 September saya sudah tiba di Shanghai, padahal acara baru mulai tanggal 14 September. Artinya, saya datang dua hari lebih cepat, dan saya belum punya kamar untuk tinggal! Nekad.

Sempat terlintas untuk tinggal di Grand Mercure, tempat conference akan diselenggarakan. Tapi melihat harganya, saya urungkan. Saya biarkan hati saya tak terganggu, sambil terus betjalan menikmati Shanghai.

Lalu hujan yang awet. Saat itulah saya mencoba Traveloka dan Airbnb. Sampai akhirnya saya memilih sebuah kamar di sebuah apartemen di Xinzhuan. Di mana ini? Hahaha. Sebodo amat, yang penting dapat kamar.

Tablet mati. Mana alamat yang akan dicari tidak jelas. Bertanya sana-sini pun tidak ada yang bisa bantu. Kecuali, seorang pria muda yang bahkan bersedia mengantar saya hingga ke apartemen yang saya tuju. Alhamdulillah.

Apartemen tua, kamar sederhana. Semua hal di apartemen ini jauh dari unsur kemewahan. Namun bagi saya, hal ini bagian dari petualangan hidup, bisa mengalami tinggal bareng penduduk lokal. 

Saat saya mencari kamar, saya cari yang termurah dengan AC dan internet. Jadi, saya sudah siap dengan apa pun yang akan saya dapatkan.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.