Skip to main content

Publication Career Ladder

Saya menyebutknya 'publication career ladder'. Bahwa setiap dosen wajib melakukan penelitian dan mempublikasikan hasil penelitiannya, baik melalui seminar maupun jurnal. Saya sudah melakukan keduanya. Apakah sudah cukup? Ternyata belum.

Untuk kenaikan pangkat di bawah golongan empat, yang pengurusannya masih dilakukan di tingkat universitas, sekedar jurnal internasional saja sudah cukup. Namun jika publikasi itu ditujukan untuk kenaikan pangkat ke golongan empat, apalagi guru besar, maka jurnal internasional bereputasi ini sangat penting. Maksud bereputasi ini adalah jurnal yang terindeks oleh Scopus atau Thompson Reuters, dua lembaga pengindeks jurnal yang dianggap adidaya, yang memiliki index factor tinggi. Konon, sekedar teridenks oleh kedua lembaga ini saja tidak cukup.

Adapun untuk dapat menulis sebuah paper dan dapat diterbitkan pada jurnal terindeks Scopus atau Thompson Reuters, tidak mudah. Sekalipun bagi saya. Selain perlu kemampuan menulis dengan bahasa Inggris yang baik, pun metodologi yang digunakan harus benar, serta segala sesuatu yang dibahas harus sesuai dengan kaidah penulisan sebuah paper kelas tinggi. Ngap-ngapan.

Kendala ini sangat besar, sehingga banyak dosen yang tidak melakukan apapun. Namun saya bukan kelompok yang tidak melakukan apapun. Saya juga bukan dosen yang dengan mudah bisa menuliskan karya dan menerbitkannya pada jurnal terindeks Scopus atau Thomson. Hal yang saya lakukan adalah menulis dan terus menulis. Ada beberapa sasaran yang saya tuju:

- Seminar internasional, dan berharap karya saya dapat dipublikasikan, baik di web penyelenggara, maupun diarahkan untuk terbit pada jurnal, baik yang terindeks Scopus atau Thompson, maupun jurnal lokal
- Jurnal nasional/internasional, yang tidak terindeks pun tidak apa-apa, selama karya saya bisa online
- Jurnal nasional terakreditasi Dikti. Hal ini selain diminta oleh Dikti, juga karena karya saya bisa online
- Jurnal terindeks Scopus, tapi yang dikelola universitas baik di Indonesia maupun di luar negeri.

Beberapa karya sudah terbit dan dapat ditemukan online, beberapa lagi segera dalam tahun ini. 

Inilah perjuangan. Tak ada Scopus, akar pun jadi. Selama karya saya dapat dipublikasikan online, selama masih bisa muncul di Google Scholars, tetap akan saya lakukan. Saya jadikan perjalanan ini adalah sebuah proses untuk mengasah kemampuan saya untuk menulis. Karena saya kurang pandai, karena saya lihai. Maka, saya jadikan 'publication career ladder' ini sebagai tangga menuju kesempurnaan karya. 



Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.