Skip to main content

Sepuluh Paper, dalam Sepuluh Bulan!


Hingga Oktober ini, alhamdulillah saya telah menyelesaikan 10 paper. Sebagian sudah terpublikasikan, sebagian lainnya menunggu jadwal publikasi. Mungkin tahun ini, mungkin tahun depan, mungkin  tahun depannya lagi. Berikut adalah judul-judul dari karya yang saya tulis, baik sendiri maupun berkelompok dengan rekan dosen dan mahasiswa:

1. Predicting Customers’ Intention to Revisit A Vintage-Concept Restaurant
2. Giving Over Taking/Receiving in Volunteer Tourism
3. Entrepreneurial Education and Taking/Receiving & Giving (TRG) Motivations on Vocational School Students’ Entrepreneurial Intention 
4. Extending the Shapero’s Model: Entrepreneurial Education Can Predict Entrepreneurial Intention of Vocational School Students?
5. Investigating the White Collars’ Intention to Visit a Sharia Compliant Hotel: They Should Be Religious? 
6. Is Physical Environment Important to Influence Japanese Restaurants’ Customer Satisfaction? Evidence from Indonesia 
7. Investigating the Impulse Buying of Young Online Shoppers
8. Indonesian Consumers against Israeli Products: Animosity on Product Judgement, Motivation, and Boycott Intention
9. Favourable and Unfavourable Attitudes of Young Female Residents toward Middle Eastern Male Tourists 
10. The Impact of Attitude, Subjective Norm, and Motivation on the Intention of Young Female Hosts to Marry with a Middle Eastern Tourist: A Projective Technique Relating to Halal Sex Tourism in Indonesia
11. The Impact of Financial Literacy on Saving Intention and Saving Behaviour of
Student Teachers


Untuk saat ini, hal yang terpenting yang saya lakukan adalah produktif menulis, urusan terbit di mana, itu urusan kedua. Sebuah proses, perlu perjuangan. 

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.