Skip to main content

Dari Bawah, untuk Terlihat, Terdengar, dan Terus Ada.

Ada seorang dosen perempuan yang suatu hari datang ke kantor menemui saya untuk sebuah urusan. Dia memuji beberapa hal mengenai cara saya bekerja. Lama tak berjumpa, tiba-tiba papasan di luar kantor. Saya sempat lupa karena memang tak begitu mengenal orang itu. Dia bercerita ingin berhenti sebagai dosen. Ia, waktu itu, sudah memiliki pekerjaan lain yang menghasilkan lebih banyak uang. Saya terkejut, tentu. Beberapa hari setelah pertemuan itu, percakapan dengan ibu itu masih terngiang di telinga: ia ingin berhenti menjadi dosen dan memilih bekerja di tempat lain, sebagai agen asuransi. 
Tidak mudah bagi saya memahami cara pemikirannya.

Beberapa lama kemudian, saya mengiktui sebuah program TV tentang kontes menyanyi. Seorang peserta, pria, berpenampilan sederhana meskipun oleh pembawa acara berwajah ganteng dan oleh para juri dibilang bersuara merdu, di tengah pertarungan, memutuskan untuk mundur. Hal yang membuat para pembawa acara dan juri gusar dan kesal. Kontestan ini menyisihkan sejumlah peserta demi tampil live di TV nasional dan ia telah mendapatkannya lalu menyia-nyiakannya. Sungguh hal yang sulit diterima. Orang itu malah ingin mengejar mimpinya untuk menjadi seorang guru. Seorang guru!

Lalu tahun lalu, seorang tentara anak mantan presiden, mundur dari karir militernya demi mengikuti pemilihan gubernur Jakarta yang belum tentu dimenanginya. Ngok. Semua orang kaget, sulit memahami keputusan yang tak biasa ini.

Tiga contoh di atas mungkin memang sulit dipahami oleh orang-orang yang tak berada pada posisi di mana orang-orang di atas berada. Seorang dosen yang menjadi agen asuransi, seorang calon penyanyi yang memilih jadi guru, dan seorang tentang yang memilih jadi politikus. Keputusan besar, keputusan sulit mungkin. Mungkin keputusan yang sama besarnya ketika saya memutuskan untuk menjadi dosen beberapa tahun lalu. Berubah arah, memulai dari bawah. Lalu, berusaha sekuat tenaga untuk terlihat, terdengar, dan terus ada.



Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.