Skip to main content

Rencana Tahun Ini: Menyelesaikan Hal-hal yang Sudah Dimulai di Tahun Lalu

Libur panjang tahun baru. Banyak waktu saya habiskan di rumah. Saya memang agak trauma dengan kemacetan. Maka, saya banyak menulis, membereskan paper-paper yang sudah mendekati deadline, paper-paper yang saya harapkan bisa saya kirim ke berbagai jurnal di tri wulan pertama tahun baru ini. Selain menulis, minggu ini akan saya sibukkan dengan mengejar jadwal mengajar dan ujian akhir, memeriksa hasil ujian akhir, dan mengumumkannya ke mahasiswa. 

Kembali ke urusan tulis menulis paper, selama liburan natal dan tahun baru, saya membaca kembali puluhan jurnal, mempelajari kelebihan dan kekurangan mereka supaya saya bisa leluasa bermanuver melakukan olah data dan mempresentasikannya. Dan, semakin yakin saya dengan kekurangan yang saya miliki. Pertama, bahasa Inggris saya masih belum dapat diandalkan. Kedua, keterampilan saya mendiskusikan hasil penelitian dengan teori-teori yang sudah ada, masih belum layak. Ketiga, topik saya dari Sabang sampai Merauke, masih terlalu luas. Saya belum bisa membatasi bidang penelitian pada satu topik saja. Saya mudah bosan. Itu alasannya. 

Tantangan saya ke depan, dapatkah saya fokus pada satu topik tertentu saja? Misalnya, perilaku turis. Hmmm, saat ini saya pastikan belum bisa. Entahlah jika tahun-tahun depan. Mungkin saja bisa. Tahun ini, sama seperti tahun-tahun sebelumnya, saya masih tertarik menulis tentang tourism, sharing economy, financial literacy, mobile money, social marketing, selfie, entrepreneurship, sharia marketing, service marketing, media consumption... Riweuh. 

Mungkin tahun depan, saya bisa fokus memilih satu topik saja: tourism? Ah, sungguh pilihan sulit. Kecuali, saya menggabungkan topik-topik yang banyak itu dengan pilihan utama saya. Misalnya, tourism dan sharing economy, tourism dan selfie, tourism dan sharia marketing, tourism dan financial literacy, tourism dan media consumption... Baiklah, saya akan pikirkan nanti saja.

Saat ini, fokus menyelesaikan puluhan draft paper, dan juga buku, yang sudah mulai dibuat. Selesaikan apa yang sudah saya mulai. Bismillah. Ambisi politik? I would if I chosen. 

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.