Skip to main content

Agus dan Jakarta

Keluar dari TNI lalu bertarung di pilkada DKI, dan kalah. Antara kecewa dan ikhlas. Kecewa, karena perjuangan singkat menuju kursi gubernur anak sulung ini tak membuahkan hasil. Haruslah ikhlaslah daripada sakit jiwa. Tapi seperti prediksi saya, menjadi gubernur bukanlah motif utama Agus keluar dari TNI. Dia dan keluarganya, dan tim di belakangnya, sudah siap kalah. Bukan dalam jangka sependek ini seharusnya untuk masuk ke panggung politik.

Lihat Probowo. Dulu hampir setiap hari beriklan di TV atas nama ketua perhimpunan tani agar bisa mendapat awareness dari masyarakat, partainya laku, dan omongannya didengar. Kini, Hari Tanoe hampir setiap menit di stasiun-stasiun TV miliknya, beriklah. Penonton RCTI dan MNC TV pasti sudah kenal dia, dari Aceh sampai Papua, dari anak balita hingga jompo. Kedua orang ini, merasa mampu memimpin bangsa, lalu mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk mempopulerkan diri. Sementara Agus, cuma hitungan bulan, tanpa iklan mahal, telah menuai popularitas yang luar biasa di pilkada lalu.

Apa yang dapat dilakukan Agus berikutnya setelah gagal di Jakarta? Pindah ke provinsi lain? Hmmm. Rasanya terlalu murahan. Hal yang bisa dia lakukan adalah menunggu bapaknya mewariskan partai. Namun sambil menunggu waktu itu tiba, dia akan ikut pemilu supaya bisa masuk ke DPR dulu. Dari sana, sambil menempa diri untuk menjadi politisi, dia mulai selangkah demi selangkah menapaki karir politiknya. Tidak instan seperti bayangannya kemarin.

Tapi Agus adalah anak yang berbakti kepada orangtua. Ketika orangtua menghendaki dia menjadi apa, dia ikuti. Bapaknya jad militer, dia ikut. Bapaknya terjut di bidang politik, dia ikut. Semacam like father like son. Semacam naturalnya begitu. Semacam, bapak menginspirasi anak. Namun kita tak pernah tahu apakah hal itu alami atau paksaan. Biarlah.

Saya bukan pemilih Agus. Akal sehat saya berkata, Agus bukan orang yang tepat untuk memimpin Jakarta. Pada saat ini. Bukan karena mudanya. Saya setuju orang muda maju. Hanya karena belum pantas. Hanya karena dia harus bertanding melawan Ahok. 

Well, setidaknya kita punya stok pemimpin masa depan. Bukan seperti Puan yang tidak kinclong. 

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.