Skip to main content

Energi Dini Hari

Hampir setiap hari bangun jam 3 atau jam 4 pagi. Sedikit demi sedikit menulis paper. Semoga energi semesta yang ikut menemani saya bekerja, dapat menjaga saya agar tetap sehat dan fokus. Demi sebuah cita-cita: guru besar. 

Saya sedang menulis paper yang saya oleh dari data-data mahasiswa bimbingan saya yang sudah lulus satu atau dua tahun yang lalu. Karena dulu saat mereka menulis skripsi saya bimbing dengan sungguh-sunguh, saya percaya bahwa data yang mereka kumpulkan berkualitas baik. Selain itu, apa yang saya tulis, tentu saja berbeda dengan karya mereka. Saya hanya memanfaatkan data mereka dan menulis sesuatu yang baru. 

Saya banyak berselancar melihat-lihat para peneliti di kampus-kampus besar, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Banyak karya mereka, sepertinya ditulis bersama mahasiswa. Menurut saya, itu yang menjadikan seorang peneliti, atau dalam hal ini dosen, terlihat sangat produktif. Tentu saja karena mereka berkolaborasi dengan mahasiswa. Mahasiswa yang cari data, mahasiswa yang menulis paper, dosen yang membimbing. Dalam kasus saya, lebih banyak saya yang menulis sendiri papernya. Tidak masalah. Untuk itu, saya boleh mengklaim sebagai penulis pertama. Di luar negeri, mau penulis pertama atau ke-sepuluh tidak jadi masalah. Sedangkan di Indonesia, tentu saja bermasalah. Hal ini berhubungan dengan komposi 60% untuk penulis pertama, dan 40% untuk penulis kedua dan seterusnya.

Kolaborasi mahasiswa dan dosen ini rupanya masih belum dipahami sepenuhnya oleh dosen. Misalnya, dosen membiarkan memilih topiknya sendiri tanpa dihubungkan dengan spesialisasi dari si dosen. Akibatnya, dalam satu semester, seorang dosen jika membimbing 10 mahasiswa, dia akan memiliki 10 topik penelitian yang berbeda yang tak saling sangkut satu sama lain. Hal yang menyedihkan, ketika saya menerapkan bimbingan dengan konsep payung penelitian, justeru saya mendapatkan serangan yang membabi buta dari rekan-rekan dosen saya sendiri. Korbannya tentu mahasiswa yang saya bimbing. 

Ah, kadang saya berpikir rumit sekali mengajak orang lain untuk membuka hati. 




Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.