Ketika di lingkunganmu tumbuh orang-orang berhati bengkok yang mudah iri hati?
Suatu ketika, saya berada pada sebuah lingkungan di mana ada beberapa orang yang bawaannya iri sehingga apa pun yang saya katakan atau lakukan, selalu dianggap salah. Menyebalkan, bukan? Saya bilang mereka iri, karena hanya perasaan iri yang bisa menggiring seseorang tanpa dasar membenci seseorang lain. Ini bukan urusan pilkada. Jadi, kasusnya berbeda.
Belum lama, seorang sahabat saya menanyakan masa lalu saya. Inilah yang saya ceritakan: Saya punya dua lapis atasan: manager dan general manager. Kedua orang ini, dalam beberapa urusan, memang secara vulgar selalu mengandalkan saya, tentu bukan tanpa alasan. Saya punya banyak solusi untuk berbagai masalah di kantor dibandingkan rekan-rekan kerja saya yang lain. Ini hasil evaluasi saya juga pendapat rekan-rekan kantor saya yang lain. Namun, itulah yang menjadi bibit kecemburuan. Dan, kecemburuan menjadikan iri hati, serata sikap dan perbuatan yang tidak menyenangkan yang dapat mempengaruhi keputusan atasan yang tidak bertindak profesional. Saya menyerah, pindah ke kantor lain. Saya tidak mau berkonflik. Mengalah di satu tempat, untuk menang di tempat lain. Saya ingin menunjukkan kepada diri saya, saya bukan pecundang.
Waktu berlalu, kejadian serupa terjadi. Obrolan saya dengan seorang sahabat ini, ada kaitannya dengan kejadian-kejadian buruk yang bertubi-tubi menimpa saya yang tak dapat saya sampaikan di sini. Karena iri hati satu dua orang, membuat saya mendapat perlakukan yang diskriminatif. Sangat tidak adil. Padahal banyak orang mengakui kualitas pekerjaan dan pribadi saya. Sekali lagi, saya menyerah.
Menyerah? Oops, bukan menyerah untuk diam tak berdaya. Saya mengundurkan diri dari hiruk pikuk dan akan terus melakukannya untuk sementara waktu. Saya akan anggap hal ini sebagai pecut untuk membuat saya lebih fokus: menjadi guru besar. Orang-orang dengan hati yang kusut akan saya temui di mana saja, kapan saja. Bukan naluri saya untuk menyingkirkan orang-orang seperti begitu. Saya tak punya karma sebagai seorang penyingkir. Dengan konspirasi dan tipu daya, seseorang dapat bisa saja menduduki jabatan tertentu meskipun dia konyol dan tolol. Namun, menjadi guru besar adalah sesuatu yang berbeda. Tidak ada yang konyol di sana, apalagi yang tolol.
Jika nanti, insyaallah, saya menjadi guru besar dan masih ada yang iri hati? Lillahi ta'ala. Allah Mahapengampun. Biar Allah yang mengampuni dan mereka yang mengurangkan dosa-dosa saya.
Ayo, semangat!
Comments