Skip to main content

Ketika Pembuat Game Digital Berfilosofi

Beberapa bulan terakhir, saya menyiapkan sebuah game digital yang dibantu oleh seorang mahasiswa saya. So far, saya puas dengan pekerjaan dia meskipun beberapa hal masih ada yang perlu direvisi. Wajarlah.

Pada sebuah pertemuan belom lama ini, mahasiswa saya itu memberi satu pelajaran yang teramat penting. Bukan pelajaran yang bersifat teknis bagaimana membuat game, tapi tentang sebuah filosofi. hidup. Katanya, para pembuat game seringkali membuat rintangan-rintangan yang sengaja untuk 'mengganggu' fokus dari para pemain. Menggoda agar pemain 'membantai' rintangan ini. Saat para pemain membantai, artinya mereka membuang sumber daya yang dimiliki, yang meskipun rintangan itu dapat diatasi, namun tak bernilai banyak. Sarannya, rintangan-rintangan itu bisa dilompati, ditinggalkan, diabaikan. Fokus pada tujuan, hadapi rintangan-rintangan besar, untuk naik level dengan mudah. Persis seperti dalam hidup kan?

Ada salah seorang rekan kerja, yang setiap saat mengganggu saya. Mungkin dari pertama kali saya masuk, opini miring dari dia tentang saya, telah terdengar. Lalu masa demi masa, tindakan dia selalu bikin saya senewen. Tapi saya berprinsip, karena orang-orang di sekitar sudah memberi dia label si Mulut Rombeng, saya berusaha menahan diri untuk tidak terpancing. Saya santai untuk tidak pernah menanggapi ocehannya, meskipun setiap kali dia menebar kata-kata kebencian, selalu ingin saya membuat klarifikasi ke setiap orang. Haha. Buang-buang energi bukan?

Orang dengki banyak rupanya. Omongannya, tindakannya, akan mencerminkan hatinya. Saya tak harus mengimbangi dia menjadi dengki. Telan ludah, urut dada, tarik dan keluarkan nafas, istigfar, doakan semoga dia dapat hidayah. 

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.