Maret lalu, saya dan belasan dosen UNJ lain dipanggil polisi sebagai saksi untuk sebuah kasus pencemaran nama baik yang dilaporkan oleh rektor lewat kuasa hukumnya, eh, kuasa hukum UNJ. Sempat kaget karena saya merasa tak melakukan apa pun yang menyerang dia. Begitu mendengar informasi dari penyidik bahwa saya hanya sebagai saksi, alhamdulillah. Lebih lega. Tapi menjelang kunjungan saya ke Bareskrim, tentu saja berhari-hari hati tidak tenang. Bukan saja saya, tapi juga keluarga besar saya. Sudahlah. Saya mencoba berfikir positif, menganggap hal ini sebagai pengalaman dan pelajaran.
Namun pada Mei 2017 lalu, sesuatu terjadi. Seorang dosen yang menyusul dipanggil polisi, tidak diam seperti saya atau dosen-dosen lainnya. Dia berdialog dengan mahasiswa. Dia bergerak dengan mahasiswa. Dia teriak dengan mahasiswa. Dia bikin gaduh bersama mahasiswa.
Saya kagum. Mestinya saya seperti dia. Mestinya saya tidak diam. Mestinya saya bersama dia. Tapi saya masih diam. Tetap diam.
Lalu satu per satu kejadian-kejadian penting terjadi di UNJ. Sebetulnya tidak saja dimulai Mei lalu itu, melainkan sejak November 2016 ketika seorang tersangka KPK diluluskan ujian doktornya. Bisik-bisik tetangga. Gunjingan dari kelompok-kelompok dosen. Banyak dosen yang protes, tapi tak berani bersuara. Seperti juga saya. Ada ketidakadilan di sana. Ada maksiat kekuasaan di sana. Ada etika pendidikan yang dilanggar di sana. Bahwa pendidikan tak sekedar untuk mendapatkan gelar. Tapi perubahan perilaku. Perubahan sikap. Perubahan karakter. Agar menjadi manusia yang lebih baik. Ini, tersangka korupsi dijadikan doktor. Sangat menyakitkan, sekaligus menyedihkan.
Kemudian, rombongan dari kementerian melakukan serangkaian investigasi. Maka satu per satu borok UNJ terbongkar. Ada rahasia di setiap keputusan. Ada bisik-bisik di setiap tikungan. Ada banyak korban di setiap tidakan. Banyak orang terperangah, seperti saya. Banyak orang lain maklum, tahu bahwa praktik-praktik keliru telah terjadi sedemikian lama. Mereka diam. Saya pun diam.
Hingga 5 Juni 2017, dosen-dosen ramai membicarakan sangsi yang harus ditanggung UNJ sebagai lembaga karena kesalahan-kesalahan yang disengaja dibuat oleh segelintir pimpinan. Sangsi-sangsi itu berat sekali, Jenderal! Sangsi yang harus ditanggung oleh seluruh sivitas UNJ. Dan kami masih diam. Saya masih diam. Kami sakit. Raga kami sakit. Jiwa kami sakit. Dan masih diam.
Saya, dan dosen-dosen lain, menunggu tangan Tuhan untuk bisa membereskan masalah UNJ. Namun, bagaimana Tuhan bisa merubah nasib kami jika kami saja masih diam? Pada golongan apa kami disebut jika ketika melihat perahu bernama UNJ mulai karam dan kami diam padahal kami berada di atasnya?
Mengapa saya diam? Takut. Karena caranya 'mematikan' orang yang dianggapnya musuh. Mengapa saya diam? Takut. Karena caranya 'membunuh' karakter orang yang dianggapnya musuh. Mengapa saya masih diam padahal saya pernah 'dimatikan' dan dibunuh'nya?
Padahal takut itu hanya kepada Tuhan. Takut itu hanya untuk yang kalah. Takut itu hanya untuk pengecut. Saya seharusnya berani bersuara ketika seorang mahasiswa yang mengritik rektor dipecat, ketika seorang tersangka korupsi dan plagiator didoktorkan, ketika banyak karyawan dipecat karena tidak mau berkonspirasi, ketika dosen-dosen dipolisikan, ketika prodi-prodi tertentu harus ditutup karena dianggap tidak layak, ketika sebuah universitas negeri dianggap fasilitas bagi dia dan seluruh anggota keluarganya... UNJ sedang terpuruk. UNJ perlu bantuan orang-orangnya. Saya, seharusnya berani terang-terangan menunjukkan muka bahwa saya berseberangan dengan dengan kedzoliman.
Saya ingin UNJ, kampus tempat saya mengabdi, menjadi baik. UNJ adalah legasi. Saya dosen, pengajar, pendidik, pejuang. Jika saya diam saja, yang saya ajarkan kepada mahasiswa adalah kesenyapan. Jika saya masih diam, berarti yang saya perjuangkan adalah kehampaan. Tidak ada alasan untuk takut lagi. Karena, UNJ untuk diwariskan, dalam keadaan baik. Karena, memperbaiki UNJ adalah keniscayaan.
Mari berhimpun. Mari bersuara. Mari berjihad untuk kebaikan UNJ.
Rawamangun, 6/6/17
Comments