Skip to main content

Bye Bye Endeavour

Saya bangun tengah malam, tak bisa langsung tidur lagi. Teringat banyak pekerjaan yang berderet minta diselesaikan. Jreng, hingga menjelang subuh setelah antrian pekerjaan sebagian saya selesaikan, mata sudah mulai berat. Meskipun belum tuntas, tapi saya harus kompromi. Tidur.

Dan pagi ini menjadi tak terlalu bersemangat ketika membuka inbox. Ada pengumuman dari Endeavour! Hasil seleksi post-doc sudah keluar. Ngok. Gagal lagi. Hampa rasanya. Kecewa sangat. Tapi tentu saja tak perlu berlarut-larut, dua menit kemudian saya berusaha keras untuk menata hati. Hari ini pekerjaan-pekerjaan sudah menanti. Move on. Cari peluang lain.

Saya menghibur hati. Sewaktu saya gagal seleksi program post-doc SAME yang diselenggarakan Dikti, tak lama dari pengumuman itu, saya berangkat ke Swiss dan hampir sebulan saya tinggal di sana. Saya juga punya kesempatan membantu pergerakan teman-teman di UNJ untuk bertarung menggulingkan rektor lama yang jumawa. Kegagalan kali ini, saya percaya bukan karena saya benar-benar gagal. Menurut saya, karena saya sedang fokus membantu UNJ untuk memperbaiki kondisi dan citra Pascasarjana UNJ yang luluh lantak gegara ulah rektor lama. 






Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.