Skip to main content

Dituduh Melakukan Pelecehan

Saya sedang terkena musibah. Seorang dosen mengadukan saya, dan beberapa rekan dosen lain ke Rektor. Khususnya kasus saya, terkait pelecehan seksual. Waktu pertama kali saya mendengar, saya sempat bingung. Apa yang sudah saya lakukan terhadap orang ini? Sejujurnya, saya sangat jarang berinteraksi dengannya. Jika pun pernah, hanya sekelebat-sekelebat saya pertemuannya. Itu pun karena dia sedang berkasus di fakultas sehingga dengan siapa pun dia merasa tak nyaman. 

Ada tiga tuduhan pelecehan itu. Kejadian pertama, ketika saya dan banyak dosen dari fakultas memenuhi undangan dari unit kerja lain untuk sebuah pekerjaan. Banyak dosen yang datang tapi kursi terbatas. Saya dapat tempat duduk karena datang lebih awal. Tetiba dia datang dan celingukan. Tak ada satu pun dosen yang menyapa dia. Saya spontan memanggil dan menawarkan tempat duduk. Ada yang salah? Kalau pun ada kesalahan, dia tak merespon apa-apa. Boro-boro bilang terima kasih, dia malah balik badan tanpa bersuara apa-apa. 

Kejadian kedua, saat ada pertemuan di fakultas. Waktu itu, saya beserta beberapa dosen sedang ada di ruang rapat untuk sebuah pekerjaan. Tiba-tiba dia muncul di ruang rapat untuk memanggil seseorang. Kurang satu menit dia di ruangan, lalu ke luar lagi. Begitu dia nongol, saya sapa, "Hi, Cantik!" Tak ada maksud apa-apa kecuali secara spontan menyapa. Di hari itu, saya mendengar kalau dia sedang menghadapi kasus yang melibatkan dia sendiri. Yaitu, ketika dia berkunjung ke kantor unit kerja lain (pada kejadian pertama di atas), dia sempat bikin ulah dengan menyerang reviewer dan berlaku tidak sopan mengacak-ngacak dokumen tuan rumah. Katanya.  

Kejadian ketiga, terjadi ketika saya keluar dari toilet di lantai dua lab komputer. Saya keluar ruangan dengan tangan sibuk merapikan sabuk. Tiba-tiba dia masuk ke toilet yang sama. Saya sekali lagi, spontan menyapa. 

Nah, ketiga peristiwa ini dijadikan alasan dia untuk menuduh saya melakukan pelecehan seksual. Sinting, bukan? Setelah orang-orang satu departemen dia musuhi dengan melaporkan mereka ke Rektor, orang satu-satunya yang masih mengganggap dia temannya yang masih setia menyapa pun dia laporkan. Ada-ada saja. Saya jadi jatuh kasihan. Semoga dia lekas disembuhkan. 

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.