Skip to main content

Tentang Kopi Liong Bulan

Tulisan seseorang yang viral.

THE END OF THE LEGEND

Sebuah berita duka bagi saya dan bagi banyak orang Bogor, penggemar kopi Liong Bulan. Kopi legendaris ini tutup selamanya -tutup umur, setelah bertahan 72 tahun di kota Bogor.

Lahir pada tahun 1945, sekitar kemerdekaan Indonesia di dekat Pasar Anyar Bogor, di belakang bioskop President yang telah mati lebih dari 20 tahun yang lalu. Membuka toko di Jl. Pabaton di sebelah Pasar Anyar, ia di sana sampai tutup umur sepuluh hari lalu.

Sang empunya, usianya pun sudah lanjut, 60-an tahun nampak sering duduk saja merangkap sebagai kasir. Kadang-kadang saya ajak ngobrol soal kopi ini, tetapi tak responsif, wawancara pun tak terjadi. Dua perempuan muda bertugas menggiling biji kopi, menimbang kopi, melayani permintaan para pembeli yang banyak berdatangan.

Kopinya murah, Rp 12.500 per 1/4 kg. Maka masyarakat kelas bawah selalu ramai berdatangan dari pukul 09 sampai pukul 15 saat toko buka. Belakangan saya sering menemukan toko ini tutup dan ditempeli kertas: tutup, sakit. Dan toko sering libur berhari-hari. Hm..ada nampak ketidakgairahan berbisnis.

Dan akhirnya pada 8 November 2017, sepuluh hari yang lalu, saya menemukan tulisan di depan tokonya: MULAI HARI INI KOPI LIONG  BULAN TUTUP, UDAHAN.

Tak karuan rasanya ditinggalkan mendadak begini... Saya bertanya-tanya kepada para pedagang di sebelahnya, tak tahu informasinya juga. Ada yang bilang pensiun yang punyanya. Tetapi ini satu-satunya toko kopi Liong di Bogor. Adakah pabriknya? Tak ada, atau tak ada yang tahu (?). Siang  tadi, setelah sepuluh hari, tulisan itu tidak ada lagi tinggal sebuah toko tutup berkerangkeng besi.

Akhirnya saya menyimpulkan sendiri. Sang empunya sudah lanjut umurnya, tak bergairah lagi berbisnis, tak ada penerusnya, tak punya lagi kebun kopi atau biji-biji kopi untuk diolah-digiling. Juga tak berminat menjual bisnisnya, tak menyayangkan bahwa ini kopi legendaris buat masyarakat Bogor.

Bila kini kita masih melihat untaian sachet kopi Liong bergelantungan di warung-warung Bogor atau dijual di toko-toko lain, itu adalah stok lama.

---

Well, everything, including human, comes and goes in our life. Segala sesuatu ada waktunya di bawah Matahari. Datang dan pergi. Ada waktu untuk menyambut, ada waktu untuk melepas. Saya pun harus rela melepas kopi yang sering saya ceritakan ini.

Kopi Liong Bulan sudah dari kanak-kanak saya kenal. Saya akhirnya berkawan dengan Sang Naga saja setelah mencicipi banyak kopi Nusantara dari Aceh ke Papua, bahkan luar Indonesia dari Eropa, Timur Tengah sampai Amerika Selatan. 

Memilih kopi bagi saya bukan sekadar rasa, tetapi harus ada perjalanan bersama, dan nostalgia.

Kini Sang Naga telah terbang ke Bulan dan tak kembali lagi. Saya harus mencari penggantinya. Sebab ratusan publikasi saya itu di baliknya ada ribuan cangkir kopi, teman untuk berusaha terjaga.

Rest in peace the legend - Kopi Liong Bulan (1945-2017).***

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.