Skip to main content

Mimpi: Kucing Liar

Saya turun dari sebuah angkot. Di pertigaan, di suatu tempat yang asing bagi saya. Namun lambat laun, tempat itu seperti pertigaan menuju rumah orang tua saya di Bogor. Ketika saya turun, saya menemukan sejumlah kucing, berukuran lebih besar dari kucing rumahan biasa. Kucing liar, dengan mata mereka yang terus mengawasi. 

Saya tak sendiri. Banyak orang di sana. Dan kucing itu juga ternyata banyak. Saya menyadari sebagai orang asing. Tapi saya pernah mendengar, dalam situasi seperti itu, saya jangan panik. 

Saya berjalan menuju sebuah bangunan dengan teras yang keempat sisinya tertutup tembok tanpa pintu. Saya duduk pada sebuah kursi panjang, menunggu angkot lain yang bisa mengantar saya ke tujuan.  Suasananya seperti hari-hari yang sering saya lalui saat saya masih SMP. Teras itu adalah ruang tunggu praktik dokter. Ada dua perempuan di teras itu. Seorang ibu, dan seorang putri. 

Seekor kucing berukuran besar menghampiri. Dia mengendus-endus tangan saya. Antara kuatir dan berusaha tenang agar tidak diserang. Kadang, kucing itu menggesek-gesekkan giginya ke tangan saya. Dan angkot belum muncul juga. Cukup lama kucing itu berada di sekitar saya. Lalu kucing lain datang setelah kucing yang pertama pergi. Ia pun melakukan hal yang sama. Lalu kucing ketiga, lebih besar. Dan, dia bisa bicara!


Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.