Skip to main content

Covid Cupid

Mungkin banyak dari kita tidak akan menyangka bahwa ancaman virus corona akan benar-benar nyata. Sebulan dua bulan lalu, bahkan para pejabat masih bercanda tentang virus mematikan ini. Sekarang, siapa pun punya kesempatan yang sama untuk terkena, maupun untuk tidak terkena. Kita bisa tak kemana-mana jika takut. Tapi orang-orang di sekitar kita apakah akan tinggal diam di rumah?
Kita bisa penuh kehati-hatian, tapi nasib bisa saja berkata lain. Terlepas kematian di tangan yang punya nyawa, kita memang wajib tetap berikhtiar.

Berkaitan dengan ikhtiar, meskipun kampus dinyatakan tutup untuk aktivitas belajar mengajar, pejabat struktural dan staf administrasi sebetulnya tetap harus masuk, kecuali buat yang tidak sehat. Business as usual. Kebijakan ini agak setengah hati memang. Di satu sisi ingin mendukung program pemerintah dan ingin melindungi segenap civitas kampus. Di sisi lain, perusahaan, dalam hal ini kampus, tetap harus beroperasi, sebagai bagian dari bentuk ikhtiar juga. Namun seperti juga banyak perusahaan, tidak banyak dari mereka menutup diri. Tentu karena mereka tidak ingin perusahaannya mati. Tutup sekarang, bisa selamanya. Mereka pasti berhitung, meskipun profit berkurang, asal jangan tutup. Pemilik bisa saja tidak masuk, eksekutif boleh saja kerja dari rumah, tapi buruh dan staf, tetap harus masuk.

Seperti ketika menghadapi teroris, kita takut mereka senang. Kita berani, mereka hopeless. Tapi corona tentu tak bisa disamakan dengan teroris. Corona adalah invisible enemy, yang dapat menyerang kapan saja di mana saja. Haruskah kita mengurung diri?

Jokowi berkeptusan tidak akan lock down Indonesia. Padahal banyak negara yang sudah melakukannya. Malaysia dan Singapura saja sudah melakukannya. Saya paham jika pemerintah pusat atau pemerintah daerah harus me-lockdown wilayahnya. Saya juga paham jika mereka tidak melakukannya. Semua ada risiko dan konsekuensi. Satu hal yang pasti adalah bahwa ini menjadi tanggung jawab masing-masing individu.

Ya, Allah. Saya tidak takut terhadap virus ini, Saya lebih takut terhadap Engkau. Lindunngi kami. Saya pasrahkan mati dan hidup, sehat dan sakit, hanya pada-Mu. 

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.