Skip to main content

Kita dan Corona

Trend hari berikutnya, tentang tuduhan orang-orang bahwa pemerintah Indonesia menyembunyikan kasus-kasus warganya yang terkena virus. Benar atau tidak, wallahualam. Orang-orang ini pengen, bahwa kasus-kasus ini terbukti, bahwa benar orang-orang Indonesai terkena Corono. Bahwa pemerintah berbohong.

Saya berharap memang pemerintah jujur apa adanya. Saya juga berharap memang tidak ada kasus yang menimpa siapa pun di Indonesia.

Namun saya punya pengalaman menarik di awal Februari lalu ketika mengunjungi Nepal dan transit di Singapura. Saat saya keluar pesawat dan berjalan menuju terminat lain untuk berganti pesawat, sejumlah petugas dengan kamera pengukur suhu tubuh, membidik semua orang yang melintas. Tak ada satu pun yang bisa lolos. Kamera itu memiliki dua monitor. Pertama, monitor berwarna gelap dengan panturan cahaya kuning, oranye, dan merah sesuai dengan suhu tubuh para pelintas. Monitor kedua memperlihatkan suasana lintasan apa adanya. Saya sempat tanya kepada salah seorang dari mereka. Mereka mengiyakan tentang fungsi dari kamera itu. 

Saat saya melintas, saat transit maupun saat kembali transit untuk menuju Indonesia, ada kekuatiran sesuatu terjadi dengan tubuh saya dan saya tertangkap kamera memiliki suhu tubuh tung tinggi. Alhamdulillah, kekuatiran itu tak terjadi.

Begitu kembali ke Indonesia, tak ada aktivitas untuk memindah suhu tubuh dan sejenisnya. Saat di pesawat, crew hanya membagikan selembar kartu berwarna kuning berisi lembar isian tentng kondisi kesehatan para penumpang. Jika orang itu bohong, loloslah dia. Artinya, bisa saja ada orang yang benar-benar sakit tapi tak berani mengaku.

Namun demikian, jika benar ada kasus orang Indonesia terjangkit virus Corona, apakah pemerintah benar-benar akan bisa menutupi? Saya beranalogi. Jika ada seseorang yang selama ini terkena virus ini, maka orang ini kemungkinan telah menulari orang lain dan orang yang tertula akan menulari yang lain pula. Mungkin teori saya salah. Bisa saja jika orang yang terdeteksi dan kemudian dikarantian, orang ini tak akan punya kesempatan menulari karena telah dijauhkan dari orang banyak.

Semoga pemerintah benar. Semoga belum ada kasus di Indonesia orang-orang yang terkena virus ini.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.