Skip to main content

Senyuman yang Menentramkan



Saya melemparkan senyum pada seorang bapak yang duduk canggung menerima penjelasan tentang suatu produk dari seorang Sales Promotion Girl pada sebuah lobby pusat perbelanjaan. Bapak itu balas tersenyum. Sahabat saya penasaran.
"Mengapa Bapak itu tersenyum?"
"Dia tersenyum karena gue tersenyum"
"Kalian saling kenal?"
"Tidak?"
"Lalu kenapa kalian saling tersenyum padahal tidak saling kenal?"
"Bapak itu dalam kesulitan"

Seorang anak menangis sangat keras dan lama di sebuah rumah sakit. Ibunya kehabisan akal untuk menghentikan tangis anaknya. Semua orang sepertinya menjadi gatal untuk ikut bertindak membekap mulut anat itu. Saya bukan ahli menenangkan anak. Namun ketika anak itu selintas menatap saya, saya manfaatkan untuk tersenyum. Ajaib, anak itu tiba-tiba berhenti menangis.

Setelah menempuh perjalanan yang agak panjang pada sebuah acara hunting foto, saya dan teman-teman berhenti sejenak di sebuah taman. Saya membeli sebotol air mineral dari seorang bapak yang menjual barang dagangannya dengan sebuah gerobak. Saya melihat botol air mineralnya terlihat sangat berdebu dan tergores-gores. Mungkin stok lama. Bapak itu terlihat ragu. Namun saya mantap menerima botol itu sambil tersenyum. Bapak itu menatap wajah saya lama, lalu membungkuk dalam sekali.

Saya dalam kesulitan keuangan yang teramat merepotkan. Berbagai kewajiban harus saya penuhi, padahal sumber pemasukan tak begitu menjanjikan. Walalupun sudah saya usahakan untuk tidak terlalu dipikirkan, namun tetap saja mengurangi konsentrasi bekerja. Nafas saya terasa berat. Pikiran saya dipenuhi oleh imajinasi bagaimana bisa melepaskan segera dari berbagai urusan keuangan ini.

Ketika benar-benar tak ada lagi hal yang bisa saya lakukan, saya menghampiri cermin. Saya membuat garis senyum di bibir dengan seindah mungkin, setulus mungkin. Seharian saya lakukan itu. Hingga menjelang tidur pun, gerakan itu tak saya pudarkan. Keesokan harinya, meskipun masalah keuangan belum terselesaikan namun hati saya tak terlalu susah amat. Pikiran lebih kosong. Saya percaya, senyuman yang saya buat telah membantu saya melewati masa sulit.

Comments

Anonymous said…
senyum adalah sebuah harapan, sebuah kebersamaan dan sebuah kepedulian :)

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.