Skip to main content

Sabun LUX: The Power of Feminism

Perempuan tak boleh menderita. Perempuan tak boleh lemah hingga bisa dijajah oleh laki-laki. Perempuan layak mendapatkan kebahagiaan. Untuk bisa bahagia, harus bisa keluar dari lingkungan yang tak mendukung terciptanya kebahagiaan itu. Perempuan harus mendeklarasikan keinginannya. Jangan tunggu lama untuk beraksi. Merasa tak bahagia dengan pasangan hidup, tinggalkan dia.

Maka, ’The Power of Beauty’ yang dikumandangkan oleh sabun kecantikan LUX betul-betul dijiwai oleh Tamara Blezinki sang model iklan. Merasa cantik dan tajir, bodoh saja kalau ia masih tak bahagia. Kebahagian menurut versi sang model adalah kebebasan dari jerat-jerat yang mengukungnya. Lalu seperti yang kita tahu kejadiannya, ia memaksa keluar dari ikatan pernikahan. Ia bersikukuh untuk menceraikan suami yang telah memberinya anak.

Tentu Tamara tak akan segagah itu untuk mengambil keputusan besar dalam hidupnya jika tak didukung oleh sebuah organisasi besar bernama Unilever. Unilever punya kriteria ketat sebelum dan selama menggunakan public figure untuk menjadi duta bagi brand-brand-nya. Perceraian, salah satu tindakan yang dianggap dapat mengurangi penilaian. Namun kali ini tidak terjadi terhadap Tamara.

Sabun Lux dengan ’The Power of Beauty’ sedang mengusung feminism dalam kampanye komunikasinya. Dove gencar dengan ‘The Real Beauty’, yang bukan feminism. Sementara Body Shop konsisten dengan ‘Women Empowering’, juga bukan feminism.

Jika Unilever sedang mengibarkan feminism, so what? Apa ada yang salah dengan dengan feminism?

Pengertian Feminism:
1. The belief that women and men are, and have been, treated
differently by our society, and that women have frequently
and systematically been unable to participate fully in all
social arenas and institutions.
2. A desire to change that situation.
3. That this gives a "new" point-of-view on society, when
eliminating old assumptions about why things are the way
they are, and looking at it from the perspective that women
are not inferior and men are not "the norm."

Feminism berbeda dengan tuntutan emansipasi perempuan. RA Kartini sebagai pelopor emansipasi perempuan di Indonesia, memperjuangkan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Perempuan punya hak yang sama untuk mengaktualisasikan diri. Menjadi apa pun yang mereka inginkan. Emansipasi tak mentelorir adanya pengecualian jenis karir tertentu hanya cocok untuk pria saja, misalnya.

Namun emansipasi yang juga dianut di banyak negara, tetap menyadarkan kodrat perempuan yang bukanlah kepala rumah tangga selagi masih ada suami di sana. Perempuan tetaplah perempuan. Ada pembedaan peran yang tetap harus dijunjung dan dimengerti oleh kedua belah pihak, perempuan dan laki-laki. Dimana keduanya perlu saling mengisi dan melengkapi. Bukan berarti yang satu dianggap lebih kuat lantas yang lain lebih lemah. Apa jadinya sebuah keluarga jika pemimpinnya lebih dari satu?

Konsep ini yang tak pernah bisa ditolerir oleh feminism. Bagi penganut ini, persamaan hak adalah mutlak. Di banyak negara, perempuan penganut feminism ujung-ujungnya keluar dari pernikahan karena tak ingin menjadi nomor dua dalam keluarga, Bahkan bagi yang lajang, mereka menghindari bentuk ikatan. Mereka tak tergantung secara financial, mandiri, bisa menjadi pemimpin bagi diri dan keluarganya.

Perempuan harus punya kekuatan untuk menentukan nasibnya sendiri. Jangan heran, jika kampanye the power of beauty sukses dan perempuan tersadar akan hak-hak sejatinya, maka angka perempuan yang mengajukan cerai ke pengadilan akan melonjak.

Comments

Anonymous said…
Dear Ma'am,

Setuju dgn ide bhw 'feminisme adalah kebebasan utk memilih (apa yg terbaik bagi semua pihak menurut pemikirannya)'.

Anyhow, penderitaan adalah bagian dr hidup itu sendiri. Tp menjadi menderita semata2 hanya krn terlahir sbg perempuan memang sebaiknya tdk terjadi.

Tp utk para perempuan sendiri, sebaiknya harus bangun bahwa pilihan harus dibuat bagi mereka yg tidak lagi ingin menjadi korban. Dan utk tidak menjadi korban berarti memilih utk maju bertempur dgn segala kesulitan hidup.

Beranikah perempuan mengambil peran aktif?

Nice blog, Ma'am ^_^

Good day!
Ray said…
Dear friends,

Yang penting adalah perubahan cara berpikir!! Open your mind and conquer your fear :)

Karena seringkali norma-norma ketimuran kita lah yang 'mengekang' kita untuk tidak bisa berontak dari hal negatif yang menimpa wanita, well, ladies...hidup cuma sekali loh...so what stops you??!!

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.