Skip to main content

Halusinasi Malaria Telah Mengembalikan Keimanan Saya


Gaib dan ganjil. Namun pengalaman yang saya rasakan dan alami begitu tampak nyata. Suhu badan terlalu tinggi menurut catatan medis memang sering menghasilkan igauan, halusinasi dan rangsangan 'gangguan' kejiwaan lain, tingkat tinggi. Tiap orang punya kecenderungan berbeda, termasuk saya.

Sejak Senin, 12 Maret 2007, saya terbaring lemah karena demam tinggi.. Karena trombosit hasil pemeriksaan begitu rendah, dugaan awal adalah demam berdarah. Namun karena disertai menggigil yang begitu hebat, setelah pemeriksaan marathon, malarialah penyakit yang katanya saya idap.

Saya teringat dengan trip terakhir saya ke Ujung Kulon akhir Februari lalu. Saya sempat kuatir jangan-jangan tak sekedar demam berdarah, mengingat Ujung Kulon pada musim hujan menjari lahan subur berkembang biaknya nyamuk malaria.

Saya sudah dua kali ke Ujung Kulon dan ingin melakukannya lagi, kebetulan rute trip yang terakhir itu sangatlah berbeda. Saya patuh meminum obat anti malaria. Panitia dan peserta saling mengingatkan agar tidak lupa. Saya melakukannya, kecuali setelah kepulangan ke Jakarta, saya mengabaikan peringatan dari panitia. Inilah akibatnya.Dua minggu kemudian, saya mesti opname dengan trombosit 80,000! Sangat mengkuatirkan.

Hingga sore keesokan harinya, setelah adik prempuan dan sejumlah sahabat yang bekunjung pamit, saya mencoba istirahat. Pelan tapi pasti badan memanas, mulai meriang, hingga menggigil luar biasa. Beberapa kali saya muntah. Setelah perawat memberi obat, kondisi badan membaik.

Menjelang malam, beberapa sahabat satu per satu datang. Saat itu saya mulai memasuki masa kritis. Badan mulai panas lagi. Mulai meriang lagi. Saya hanya konsentrasi untuk istirahat. Keringat mulai membasahi. Hal yang membuat saya senewen, dua botol infus yang mensuplai cairan ke tubuh tak mengalirkan dengan lancar. Kadang satu lancar, yang lain nya macet. Begitu sebaliknya, hampir seharian itu.

Ketika badan saya begitu panas, keringat belebihan, saya gelisah bukan main. Apalagi dua infus benar-benar ngadat sekaligus. Saya menjadi sangat risau. Saya omeli dua perawat yang ada di sana karena tak bisa mengatasi masalah itu dengan cepat. Empat orang sahabat yang hadir turut membantu dan bersaksi: Charlie Tendean, Dewi Metty, Nefransyah, dan Arsyad.

Saya mulai merasakan kesemutan di sekujur tubuh. Maka paniklah. Adik lelaki saya, tinggal di luar Jakarta, yang katanya mau membawa ini itu akan datang pagi tak kunjung datang hingga malam karena sakit, saya kehabisan stok air minum. Saya tak memberitahu keluarga karena mereka di luar kota. Infus belum benar juga. ”Bapak jangan ngomel melulu. Tenang, berdoa,” kata salah seorang perawat. Saya tersadar.

Untung saat itu saya menurut dan segera teringat akan ayat-ayat suci yang sudah sangat jarang saya lafalkan. Kesemutan menghilang. Namun seiring doa yang saya bacakan, sesuatu mulai menjalari jari-jari kaki. Demi Allah, saya merasakannya! Saya ingat bahwa ajal secara perlahan mulai ditarik dari ujung kaki hingga kahirnya ke ubun. Tapi saya tak tahu apa rasa yang seharusnya. Yang saya rasakan saat itu adalah seolah darah membeku mengalir, ujung jari kaki mulai membatu. Mata rasa, kecuali sesuatu yang memberat itu. Astagfirullah, inikah ajal itu?

Saya mulai memberi tanda kepada orang-orang dalam ruangan akan kondisi saya, minta mereka membantu saya berdoa. Saya merasa waktu saya tak panjang lagi.

Rasa berat terus menjalar pelan namun pasti. Hingga akhirnya berhenti tepat di bawah dagu. Demi Allah, rasa itu benar adanya. Saya rasakan sangat berat. Saya memohon ampun kepada Allah karena telah meninggalkanNya sedemikian lama. Belasan tahun saya sudah tidak lagi bersembahyang.

Saya membuat pengakuan dosa sedemikian lantang. Rasa berat itu masih tertahan di dagu. Saya bergetar hebat. Kesemutan yang semula saya rasa hanya gerimis di awal kritis, tiba-tiba membabi buta. Herannya hanya saya rasakan pada bagian badan sebelah kiri saja. Saya merasa begitu berdosa, hingga saya pikir Allah tak akan mematikan saya. Allah akan menghukum saya dengan memberi kondisi seperti itu untuk jangka waktu lama.

Sahabat-sahabat saya mengingatkan agar saya terus istigfar. Ya, saya lakukan. Kesemutan hebat hanya pada bagian kiri badan terus saya lakukan. Pengakuan dosa pun terus saya lakukan. Saya berjanji tak akan meninggalkan Allah lagi, saya bersaksi hanya Allah satu-satunya tuhan yang akan saya sembah, saya akan berhenti mempertanyakan tentang keberadaan tuhan, saya akan berhenti menyekutukan Allah, saya akan bersaksi kepada dunia bahwa saya telah mendustakan agama, telah murtad, telah musyrik. Saya akan bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah...

Allah Mahabesar. Seketika rasa sakit lenyap. Saya histeris. Saya minta semua orang yang ada di dalam ruangan itu bersaksi bahwa keajaiban itu ada dan luar biasa. Tentu saya orang-orang menganggap saya berhalusinasi. [Saat itu saya mati-matian ingin memastikan semua orang untuk percaya dengan hal yang saya alami]. Saya begitu ketakutan. Kematian yang menganga di depan mata, tiba-tiba pergi. Saya masih diberi kesempatan untuk memperbaiki diri! Alhamdulillah.

Insyaallah, saya akan kembali memeluk Islam dan menjalankannya dengan benar. Ya, Allah, bimbinglah hambaMu ini selalu...

Note:
Tulisan ini mohon tidak dipandang sebagai SARA. Saya menghargai dan menghormati semua kepercayaan yang dianut oleh semua umat manusia di planet ini. Saya telah berkelana dalam new age development sekian lama sehingga saya sangat paham bagaimana sebuah kepercayaan atau agama bekerja. Untukku agamaku, untukmu agamamu. Semoga damai di bumi.

Comments

Anonymous said…
apakah masih ada kemarahan terhadap Tuhan di dalam dirimu..?

ataukah benar-benar sudah hilang dan hanya ada ikhlas...

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.