Skip to main content

Mr Postman Always Rings Twice



Saya rindu Tukang Pos mengantar sejumlah surat atau kartu pos ke mailbox depan rumah. Kemana mereka perginya? Apakah sudah ada pengurangan karyawan di Kantor Pos? Atau memang sudah tak ada surat buat saya yang perlu diantar?

Saya rindu Tukang Pos mengantar surat-surat buat saya. Surat dari kekasih, surat dari sahabat, surat dari kerabat. Ah, sejak SMS dan email merajalela, saya pun tak lagi merangkai kata di kertas wangi, tak lagi membeli dan menempel prangko dengan menjilat bagian belangkangnya. Saya tak lagi pergi ke Kantor Pos.

Saya rindu snailmail, meskipun harus makan berhari-hari untuk bisa tiba ke alamat yang saya tulis, namun saya selalu menikmati masa-masa itu. Saya rindu, ketika tiba di rumah sehabis kuliah atau kerja, setumpuk surat dan kartu pos memenuhi mailbox.

Apa yang terjadi hari-hari ini? Some annoying private courirs rajin sekali mengetuk pintu. Sebentar mengantar tagihan kartu kredit, sebentar mengantar tagihan TV langganan, sebentar mengantar tagihan internet, sebentar mengantar tagihan handphone. I wish I could kill them all, but I always remember a phrase sounds 'don't kill the messanger'.


Comments

Aku said…
usep, aku senang post ini. aku merasakan hal yang sama. rindu tukang pos yang tidak bawa tagihan, tapi pesan 'rindu' seseorang.

aku senang dengan warna page-nya yang baru, lebih segar daripada depressing black.

usep, archive yang di sidebar dimunculkan dong jadi kita bisa digging cerita lama.

okee... sukses dan sehat selalu!

himavant
Aku said…
eh sori, aku baru lihat archive snippet-nya. lebih seru kalau judulnya yang muncul :-) protes mulu ya pembacanya..

h

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.