Skip to main content

Hilangnya Keakuan

Dalam sebuah milis meditasi yang saya ikuti, dibahas tentang bagaimana 'hilangnya keakuan' seseorang bisa terjadi. Topik ini berkembang dari sebuah ide dasar: apa sebetulnya yang menjadi tujuan mengapa kita hidup di dunia? Jadi ingat pengalaman saya.

Saya pernah bekerja sebagai tenaga penjualan. itungan tahun, baik karir, income, dan penghargaan saya dapatkan. Suatu ketika saya merasakan sesuatu yang aneh. hingga rasa itu sedemikian mengganggu. saya mengalami hilangnya proses keakuan. Saya merasa pekerjaan dan karir yang sudah saya tekuni bertahun-tahun, tak lagi membuat saya happy. Saya gelisah. saya pikir mungkin jenis industri yg saya pilih sudah tak menarik minat saya lagi.

Saya berhenti bekerja [dlm kondisi blm mendapatkan pekerjaan baru] . Bersyukur, karena tak lama kemudian saya mendapat pekerjaan baru. Sayang, di tempat baru itu saya bertemu dengan orang-orang yang sangat tak bisa bekerja sama. Padahal mungkin jika saya mau bersabat, saya bisa survive. Tapi lagi-lagi, saya kehilangan minat untuk terlalu kuat berargumentasi untuk sekedar mempertahankan ide dan pendapat saya.

Saya mengundurkan diri [lagi-lagi tanpa pusing mau bekerja kemana setelah itu]. Sepertinya saya tak memiliki rasa takut sama sekali jika pun akan menjadi pengangguran. Hal yang ada di pikiran saya saat itu, saya tak ingin memaksakan diri. Jika pekerjaan atau tempat saya bekerja tak sesuai dengan hati, saya lebih baik keluar. Tak ingin menciptakan banyak perselisihan dengan orang lain. Tak ingin merusak hati dan menciptakan penyakit hati.

Kembali bersyukur karena tak lama kemudian saya mendapat pekerjaan baru. Di tempat inilah, saya seperti menjadi pribadi baru. Keakuan itu nyaris punah sama sekali. 'Hidup' hanya untuk hidup. Lalu saya berkenalan dengan vivasana. Vivisana adalah semacam aliran meditasi pernafasan gaya Budha namun saat praktek melakukannya tak berhubungan dengan prosesi keagamaan. Pengikutnya dari berbagai kepercayaan. Vivasana jualah yang membuat kondisi hilangnya keakuan ini semakin terdukung. Saya menjadi makhluk yang sangat tenang dengan bijaksana. Sufi dan musafir.

Namun, sejalan dengan banyak referensi yang saya dapatkan dari berbagai sumber, saya mendapat pencerahan lain. Keakuan itu sama sekali tak boleh hilang. Karena kita hidup tak hanya untuk hari ini. Kita hidup bukan untuk diri sendiri. Kita lahir dengan segala talenta yang ibaratnya anak, talenta itu mesti dirawat dan dikembangkan. Kita punya intelektual yang tak sekedar perlu dipertajam tapi juga diamalkan. Karena kita juga punya keluarga dan berada di tengah masyarakat.

Masih belum lama. Saya mulai membangun tujuan-tujuan hidup. Mempertahankan keakuan agar tak punah. Dengan keseimbangan baru: ketuhanan, spiritualism, sosial, dan kebanggaan menjadi si 'aku'. Saya ingin kembali narcis.

Karena kita tak pernah tahu rencana apa yang telah dipersiapkan oleh sang mahakuasa untuk kita. Maka kita perlu bersiap untuk berbagai skenario hidup. Untuk segala jenis peran yang harus dimainkan.

Comments

Anonymous said…
Mas Suhud, maaf numpang nanya nih. Postingan tentang meditasi ini cukup menarik ya, latihannya di mana mas?
Dan mungkin Mas Suhud juga tau kalau kelas yoga di deket-deket daerah Jalan Senopati Jakarta dimana ya?
Thanks
Anatomi Angin said…
hi, roi. coba anda gabung di milis MMD (vivassana):
meditasi-mengenal-diri-subscribe@yahoogroups.com

meditasi yang ada di dekat senopati itu, di jalan airlangga, belakang tea addict. pengajarnya pak agus.

good luck.

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.