Skip to main content

Mr. Complain


Suatu hari Minggu, bersama dua sahabat lain, saya pergi window shopping ke Senayan City. Mall yang menurut saya terlalu besar untuk bisa diputari seharian. Mampirlah ke Best, merchant alat-alat elektronic dan perlengkapnnya.

Saya tertarik pada Canon EOS 30D. Sekedar melihat harga dan mengelus barangnya. Saya bertanya untuk konfirmasi kepada seorang SPG. Harga terulis 13 juta something termasuk lensa kitt. Tapi menurut SPG itu, harga hanya body only. Saya bingung, pada label yang terpasang, tertulis seperti yang saya baca dan saya yakini. SPG itu keukeuh label itu bukan untuk barang yang dipajang.

"Kenapa barang ini ditempeli label yang salah?" "Wah saya tidak tahu." "Tidak tahu kenapa yakin amat bilang label ini bukan buat kamera ini?" "Emang begitu." "Menipu, dong."
Sahabat saya menarik nafas. Saya tersadar untuk tidah membuat 'kerusuhan'. Saya memang tak niat beli. Tapi melihat sebuah praktek pembodohan sedang terjadi menimpa saya, sedikit terpancing saja untuk mengeluh.

Sahabat-sahabat saya di kantor menjuluki saya si Mr. Complain. Agak keberatan, tapi sudahlah. Tokh yang saya keluhkan lebih kepada perilaku produsen atau penjual jasa yang semena-mena terhadap konsumen.

Keluhan juga saya buat pada restoran-restoran yang menyajikan hidangan pesanan secara sembarangan (asin, basi, ada rambutnya, amis). Pada penyedia TV berlangganan, bank, rumah sakit, dll.

Awal tahun ini saya mengeluh kepada AIG LIFE, sebuah perusahaan asuransi. Polis saya dibatalkan sepihak oleh mereka karena ada pergantian nomor kartu kredit yang tak saya laporkan kepada mereka. Lupa. Tapi tak semestinya mereka melakukan pembatalan polis tanpa melakukan konfirmasi terhadap pemegang polis. Begitu pembelaan saya.

Sangat masuk akal. Mereka menawari saya produk asuransi dengan pembayaran debit kartu kredt. Mereka harusnya udah paham seluk beluk permasalahan kartu kredit. Dan kasus saya seharsnya sudah ada dalam Q&A yang default. Namun sangat menyedihkan, mereka tak memilikinya.

Merasa tak ditanggapi dengan serius melalui email dan telepon, saya menulis surat pembaca di harian Jakarta Post. Harus menunggu seminggu untuk mendapat tanggapan. Itupun karena di Kompas ada keluhan dari Pemegang polis lain. Mereka menjanjikan tiga hari akan mengirim surat tanggapan atas kasus saya.

Hingga dua minggu tak ada surat yang mampir ke alamat saya. Hingga kemudian saya masuk rumah sakit. Saya masih marah sebetulnya dengan ketidakacuhan AIG LIFE. Saya tidak bisa mengajukan klaim karena polis saya sudah hangus. Namun demi kesehatan agar pikiran saya waras, saya mengalah untuk tak meneruskan kasus ini. Bersyukur karena saya memiliki polis dari asuransi lain, Cigna.

Saya meminta seorang sahabat untuk membuat surat dan mem-faks-nya ke AIG LIFE. Saya tak akan meneruskan gugatan saya. Secara de jure, saya rugi. Tapi saya merasa telah memenangkan gugatan. Mereka tak bisa menjawab pertanyaan saya yang sangat sederhana: Mengapa mereka membatalkan polis saya secara sepihak? Perusahaan besar dengan orang-orang bodoh. Semoga mereka mendapat pelajaran dari kasus saya.



[image diambil hasil browsing internet]


Comments

Anonymous said…
gambar sama postingannya nggak nyambung mas...hehehe
tapi memang budaya kritis belum membudaya disini ya

(roi)
(http://blognya-roi.com)

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.