Skip to main content

Orang-orang di Sekitarmu adalah Rezekimu

Saya sering geram karena atasan berlaku tidak adil. Ketika rekan kerja lain berbuat salah hanya mendapat teguran, lima menit kemudian, seolah tak terjadi apa-apa. Namun ketika giliran saya yang membuat kekeliruan, bisa dua minggu saya kena dampak kejudesan dia. Padahal, rekan-rekan saya sangat kerap melakukannya. Sementara saya, mungkin tak sampai dua kali dalam satu semester berbuat salah. Akhirnya, saya ikut kesal terhadap rekan-rekan. Sudah begitu bodoh, lalai, eh, masih juga suka menyikut-nyikut dengan perilaku mereka yang obsesif dan penuh siasat. Pokoknya, menyebalkan.

Saya punya seorang kerabat yang minta ampun konyolnya. Usianya lebih muda dari saya, pengangguran, pernah sangat dimanja oleh keluarganya. Keluarga besar sudah mencap dia sebagai pembuat onar, sering bohong, dan segala gelar negatif lain. Hubungan saya dengan dia sangat tidak dekat. Saya juga tak pernah punya pengalaman dengan segala kenakalan dan kebadungan dia. Suatu ketika dia datang meminjam uang untuk ongkos karena ada wawancara kerja katanya. Saya heran mengapa dia datang kepada saya, padahal seperti yang sudah saya sebut, hubungan kami sangat tidak dekat. Ibu dan saudara-saudara saya mengingatkan. Saya tetap berniat menolong.Uang saya kasih begitu saja. Saya pikir, kalau ia benar-benar mendapatkan pekerjaan yang ditawarkan, semoga ia akan berubah. Lagian, jumlah yang dia butuhkan tak banyak. Sebelum anak itu pamit, sedikit saya memberi wejangan. Saya sangat trenyuh ketika dia segugukan menangis, mencium tangan, dan nyaris mencium kaki saya.
Tak lama anak itu pergi, kabar tentang apa yang terjadi di ruang tamu rumah orang tua saya itu tersebar. Tak lama juga, seorang kerabat lain yang mendengar cerita itu datang menemui saya. Dia bilang, anak yang barusan saya kasih uang, tidak pergi kemana-mana. Ia sedang bergerombol dengan teman-temannya main judi dua ratusan meter jaraknya dari rumah saya. Ngek ngok.
Isteri saya mengeluh tentang seorang rekan kerjanya yang suka ingin menang sendiri. Ibu saya mengeluh tentang salah seorang menantunya yang bersikap tak semestinya. Seorang sahabat mengeluh karena ibunya selalu memperlakukan dia seolah dia saingannya. Sahabat saya yang lain mengeluh karena teman dekat yang selama ini dia sebut kekasih ternyata tak pernah bersikap layaknya seperti kekasih. Adik saya mengeluh karena tetangga sering bikin kegaduhan.

Kita mengeluh karena orang-orang terdekat kita berlaku tak sesuai dengan harapan kita, mau kita. Kita sebal, marah, hingga benci terhadap orang-orang di sekitar kita, di sekeliling kita karena mereka punya sifat-sifat yang membuat kita tak nyaman, dirugikan, terancam, merasa dieret, ditipu, dibohongi, dikhianati...

Kita ingin jauh dari mereka.

Kita bisa saja menyingkir dari teman main. Kita bisa saja memutuskan hubungan pacar. Namun jika orang yang menyebalkan itu ternyata atasan, saudara kandung, orang tua, pasangan hidup? Apakah kita bisa mengenyahkan mereka dari hidup kita?

Ketika Anda menjawab tidak, artinya memang tidak. Artinya, Anda harus merubah cara pikir dan merasa Anda. Bahwa sesungguhnya, orang-orang yang menyebalkan itu memang tak perlu kita jauhi apalagi musuhi. Mereka ada karena kita ada. Kita tampak baik karena sebagian dari orang-orang di lingkungan kita berbuat tak baik. Saatnya kita bersyukur atas kelebihan yang kita punya.

Jika uang bulanan yang kita dapat patut kita syukuri sebagai rezeki, maka orang-orang yang hidup di sekeliling kita pun adalah bagian dari rezeki yang patut kita syukuri. Rezeki tak melulu berhubungan dengan materi. Mereka adalah paket dari segala kesenangan dan kenyamanan hidup kita. Terlebih, mereka adalah cermin dari sifat-sifat kita selama ini. Maka berbuat baiklah, semoga hanya orang-orang berhati baik saja yang ada di sekitar kita.
Jangan lupa, bahwa selain orang-orang yang menyedihkan itu, kita masih punya sahabat-sahabat yang baik, Ibu yang menyayangi, kekasih yang mencintai...

Comments

Rush Murad said…
Salam Maal hijrah 1429! Semoga perjalanan hidup kita senantiasa dirahmati dan diberkati olehNya...

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.