Skip to main content

The Second Scenario

Saat ini, saya sedang melatih kesabaran tingkat tinggi. Sungguh. Supervisor riset menolak untuk membaca thesis saya dengan alasan sibuk. Padahal, deadline tinggal beberapa jengkal lagi menjegal. Skenario kedua, jika saya tidak berhasil menyerahkan thesis pada akhir Maret ini, saya harus membayar biaya kuliah penuh sebesar $12,000 lebih. Saat ini saya masih tak perlu bayar meskipun sudah memasuki semester ke-tujuh. 

Andai, riset supervisor saya bisa bekerja optimal sesuai dengan timetable, Senin lalu itu saya sudah submit draft kedua, hasil editing dari proofreader. Tapi apa mau dikata, hingga saat ini, proofreader masih bekerja karena review dari draft thesis pertama terlambat, bahkan belum selesai seluruhnya hingga saat ini. Rencana bisa submit dan pulang sebelum tanggal 15 Maret, bergeser. Skenario pertama ini bubar.

Dampaknya seperti efek domino, saya harus perpanjang visa, harus cari rumah baru untuk saya sewa, termasuk mempersiapkan  mental baru dengan segala kekecewaan.

Saat ini, hanya bisa pasrah. Saya merasa sudah memainkan peran saya seoptimal mungkin. Saya sudah merasa bekerja sekeras mungkin agar thesis bisa kelar sesegera mungkin. Tapi apa daya, hidup saya masih tergantung pada supervisor riset. Jika mereka baik dan cepat, segala keterlambatan mungkin bisa terhindari. Dan saya tak punya skenario ke-tiga. 

Terus berdoa. 


Comments

Rommy said…
Semoga diberi kesabaran ya.
Siapa tau ada hikmah dibalik ini semuanya.

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.