Skip to main content

Lia Eden: Salam Duka bagi Kebebasan Beragama


Lia Eden divonis 2 tahun penjara, lebih ringan dari 5 tahun tuntutan.

Fenomena seseorang mendapatka pencerahan yang sedemikian gemilang bisa saja terjadi. Meskipun di jaman milenium ini. Seseorang dengan tingkat spiritual yang tinggi, tak mustahil bisa memperoleh kesempatan-kesempatan langka dan mengeherankan. Orang lain yang tidak berdiri pada pemikiran yang terlalu rasional, akan sulit memahami kejadian seperti itu.

Lagian, mana ada ajaran agama yang betul-betul bisa masuk akal? Penganut Katolik menilai bahwa apa yang dipercayai oleh orang-orang Kristen sangatlah tidak masuk akal. Penganut Islam menganggap hal-hal yang di luar agamanya adalah salah. Orang Budha tak pernah bisa setuju dengan ajaran Islam. Begitu terus dan seterusnya.

Jika pun hingga ini kita bisa hidup berdampingan, itu karena toleransi yang kita tanamkan dalam diri kita masing-masing.

Pemerintah bertindak atas nama peraturan yang telah dibuat. Agama baru dilarang. Padahal, UUD 1945 menuliskan bahwa rakyat Indonesia bebas menganut agama yang dipercayainya dan janji pemerintah akan melindungi.

Saya tidak mengenal Lia Eden. Saya tidak mengenal ajarannya juga. Namun jika menurut media massa memang begitu inti ajarannya, secara logika sederhana pun menurut saya bisa dipahami. Mengapa MUI langsung menghakimi bahwa ajaran yang disebarkan oleh Lia adalah sesat? Mengapa hakim pengadilan seperti bersorak sorai menjatuhkan hukuman seolah Lia adalah setan pengganggu keharmonisan beragama di negeri ini?

Agama hanyalah agama. Lia dianggap telah menodai agama. Bagaimana dengan para pencuri uang negara, mafia pengadilan, pengedar obat terlarang, penzinah, yang jelas-jelas telah menodai agama masing-masing tak pernah diadiliki karena penodaan agama? Bukankah dalam agama yang kita anut hal-hal demikian jelas-jelas dilarang?

Mengapa ketika ada orang yang ingin tafakur dan khusus beribadah dengan cara 'berbeda', justeru yang harus diadili dan dipenjara? Kapan kita sebagai manusia bisa betul-betul merdeka di bumi yang merdeka?

Comments

Anonymous said…
wah.. mas ini hanya melihat persoalannya secara umum...

saya setuju sekali dengan apa yang dikatakan oleh mas.. setuju.. mengenai kebebasan seseorang untuk beribadah...

tapi semua ada batasannya mas... bukan cuma dalam kebebasan beribadah.. namun dalam semua hal...

mungkin mas usep kurang mengikuti kasus lia eden ini ya...


--- aji ---
Anonymous said…
wah, klo saja semua dibiarkan bebas menginterpretasikan agama bisa kacau balau. agama sendiri sudah mempunyai batasan2nya sendiri.

negara memang menjamin kebebasan melaksanaan ibadah sesuai agama yang dianut (5 agama), bukan kebebasan membuat (cabang) agama baru. ahmadiyah misalnya.

setuju dengan toleransi antar umat beragama.

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.