Menurut saya, perempuan yang menyusui bayinya adalah makhluk termulya di muka bumi ini. Bayangkan, dengan itu ia memberi kehidupan. Tuhan memberikan banyak dispensasi bagi Ibu yang menyusui, misalnya dengan tidak mengharuskan ia berpuasa.
Namun tugas mulya ini tak selalu bisa dilakukan oleh Ibu. Salah satu hambatannya adalah tubuh Ibu belum lancar memproduksi air susu. Air Susu Ibu diberitakan sangat baik untuk bayi agar bisa lebih imun dan dapat meningkatkan kecerdasan.
Memasuki hari keenam, Istri saya mendapati air susunya tak mengalir dengan baik. Hanya beberapa tetes saja hingga tak cukup memenuhi lambung si bayi. Tangisan bayi yang melengking membuat hati pilu.
Dengan sangat terpaksa akhirnya saya meluluskan permintaan istri, mencampur ASI dengan susu formula. Bukan karena issue bakteri yang belakangan ramai jadi topik berita, tapi karena memang saya lebih suka jika bayi-bayi mestinya hanya minum ASI saja. Apalagi bayi saya sendiri. Namun ternyata saya perlu kompromi.
Adalah hak bayi untuk mendapatkan yang terbaik bagi hidupnya. Karena ia belum berdaya menuntut, orang tualah yang mestinya memperjuangkannya. Betapa saya Bapak yang tak berguna. Inisiasi Menyusui Dini tak berhasil dilakukan. Kini ASI ekslusif juga gagal. Maafkan Bapakmu, Anakku.
Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.
Comments